8.2.12

Kabel

Aku menimang gulungan kabel di tanganku.

"Ini siapa yang menggulungkan, ya? Seingatku, pagi itu hanya tinggal kita berdua di kamar. Berbagi rokok, berbenah, tak rela."

Amat kecil kemungkinan bahwa gulungan rapi itu hasil kerjaku. Aku terlalu kusut. Jadi, ya siapa lagi kalau bukan dia, teman seperjalanan saat liburan/kerja terakhir.

Ketika hendak kubuka gulungannya, aku meditasi sebentar. "Ini hasil kerja tangannya; tanda perhatiannya padaku, pada milikku. Sejak dibeli, dipakai bersama, sampai akhirnya di sini, ada bekas dirinya. Jika kulerai, bukankah akan larut lagi dalam kenangan?"

Manusiawi, ya? Sering tak rela dan masih menyangkut-nyangkut dalam kenangan.

(Segitu tak relanya, sampai difoto segala.)

Karena di rumah belum ada kabel yang lebih canggih, dan aku harus segera menghidupkan sekian banyak perangkat, terpaksa kulerai gulungan kabel kramat itu.

Colok dalam electric socket.

Lalu merasakannya mbledag hangus & putus di tanganku. Sekaligus listrik serumah.

Manusiawi, ya? Kalau tak rela, menyangkut-nyangkut dan mengeyel langsung kualat. Hihihihi.


Iya, ini apologi untuk posting kemarin.

7.2.12

Satu Lagi Tentang Diam

Maturity is a bitter disappointment for which no remedy exists, unless laughter could be said to remedy anything. ~ Kurt Vonnegut

Satu lagi cerita tentang “Salahnya yang diam satu, salahnya yang ngomong seribu.”


Jadi beberapa bulan yang lalu Yaya patah hati. Alasannya klise banget: Pacarnya pacaran lagi sama orang lain. Tanpa pengumuman.

Tipikal gaya Virgo mengamuk adalah diam seribu-satu bahasa. Pada awalnya, at least. Jadi, begitu tahu pacarnya sudah buka cabang di lain hati, Yaya langsung masuk kepompong hening. Diam sediam-diamnya. Tak berbunyi di twitter, Facebook apalagi temu langsung.

Selama diamnya itu, Yaya naik gunung, retret meditasi. Tahu dong seperti apa retret-retret gila itu. Yang tadinya masih komunikasi verbal sama orang rumah, di gunung tidak komunikasi sama sekali dengan siapapun. Seperti zombie tapi masih makan & mandi.

Dan karena diam, semua tenaga pikirannya menyatu. Bawah sadarnya meruah. Pacarnya yang bikin sakit hati itu dimutilasi berkali-kali dalam bayangan.

Tapi brutalitasnya cuma sampai pikiran saja. Sumpah. Karena begitu turun dari gunung, Yaya ceria kembali; akselerator bahasanya dibablasi, dan banyak yang tersinggung karenanya. Tapi bukan itu inti ceritanya.

Pada saat-saat galaunya kambuh, Yaya menggerataki linimasa mantannya yang membuatnya begitu brutal dalam hening. Salah satu update statusnya tentang sakit punggung. Punggung? Bukannya itu bagian paling sering yang Yaya potong-potong dalam bayangannya selama puasa bahasa dan angkara murka?

Mungkinkah?

*

Waktu Kanjeng Nabi bilang “Jangan marah”, ada banyak alasan terselubung dalam titahnya. Orang yang diam bukannya lemah. Apalagi saat marah. Khususnya yang sedang marah.

Mau percaya atau tidak, ada yang kekuatan laten yang menumpuk dari emosi yang dibendung. Karya seni, misalnya, butuh fermentasi agar matang. Juga zaman dulu, para Resi dan Wali sering bertapa di hutan untuk menajamkan indera dan kekuatan.

Diam, baik sehari atau sesaat, juga begitu.

*

Lanjut cerita tadi, ya? Kasihan dong tuh mantan cuma diceritakan sampai punggungnya kecekit. Apa tak ada happy ending baginya? Biar kata dia kunyuk, masih karya Tuhan, kan?

Beberapa hari yang lalu, si kunyuk mantan menelepon selagi Yaya masih di ambang galau: Belum sarapan, masih mengantuk dan rada horny. Dari percakapan itu, emosi Yaya terpancing; segala sumpah serapah yang dipendamnya selama beberapa bulan terakhir meluncur deras dari mulutnya.

Lelaki itu bukannya terpekur memikirkan kesalahannya malah tertawa-tawa kesenangan. Sakit punggung dan galaunya sembuh total saat mendengar Yaya tak kuasa menahan marah, bok.

Sementara Yaya? Haha.

Setelah berhasil membungkam mulutnya dengan kepalan tangan dan selusin kaus kaki, akhirnya tertawa juga. "Ya sudahlah, biarlah kampret itu sembuh dan tertawa lagi. Mungkin memang masa hukumannya sudah selesai, dan sudah waktunya ia dimaafkan. Semoga pacar barunya lebih erat mengendalikan mulut dan mampu menyiksanya lebih lama. Amin.”

6.2.12

Maling

Salah'e sing meneng siji. Salah'e sing ngomong sewu. - Wawung

Pak Kyai memiliki ayam jago kesayangan yang ganteng, nyaring & gagah. Setiap pagi dimandikan, diajak biacara dan diberi pakan terbaik untuk menjaga kesehatan dan keindahannya.

Suatu hari, ketika hendak memulai ritualnya bersama ayamnya, ternyata ayam itu tak lagi bertengger di kandangnya. Hilang! Dicuri!

Karena ibadah dan sikapnya selama ini mendidik sang kyai untuk bersabar, maka beliau hanya diam mengikhlaskan.

Di lain tempat, maling yang baru kekenyangan karena makan ayam jago colongan, tiba-tiba merasa gatal seluruh badan. Semakin digaruk kulitnya, semakin gatal. Lama-kelamaan berisisik, bernanah dan mengelupas, seperti bulu ayam yang tak selesai dicabuti.

Maling tersebut menangis. Ia tahu, ini karma dari mencuri ayam dari orang yang hatinya terpaut pada Tuhannya: Keikhlasan dan diamnya membalas sendiri pada yang bersalah padanya.

Makin hari kulitnya yang bersisik makin gatal, buruk dan membusuk tak tertahankan. Maka maling itu ke dokter, tabib, dukun untuk mengobati kesakitannya. Tapi tak ada yang berani membantu, takut terpental kutukan tersebut.

Akhirnya maling ayam menemui gembong maling dan mengadukan nasibnya.

Gembong tersebut menjitak teman seprofesinya, tapi juga mengasihaninya. Ia berjanji akan menemui kyai tersebut untuk mengorek kedalaman ikhlasnya.

"Saya gembong maling, Pak Kyai, mohon bimbing pertaubatan saya."

Pak Kyai melakukan pekerjaannya: memberi wejangan, menatakan intervensi, dan membuka hati selapang simpati.

Pada rehat perbincangan, gembong maling bertanya, "Bapak dulu punya ayam jago bagus, ya? Apa kabarnya sekarang?"

Kemarahan dalam bahasanya menodai ikhlas sang kyai, juga meringankan hukuman kunyuk di sana. Begitu sang Kyai bilang, "Dasar yah, umat tak tahu malu. Ayam orang cuma satu aja kagak selamet!" -- Rontoklah semua gatal, bulu dan nanah di badan maling ayamnya.

4.2.12

Angan

__Wishing___by_NecromancyPrince

Kyai Cirebon itu hidupnya dari dan untuk mengaji. Orang yang garis hidupnya begitu, umumnya tidak boleh tergoda harta. Atau ajarannya akan jadi basi, dan semua muridnya juga basi.

Makanya Kyai Cirebon itu miskin. Saking miskinnya, kalau mau main ke rumah sahabatnya di Jatibarang, bolak-balik Cirebon-Jatibarang berjalan kaki.

Jatibarang yang di Brebes, lho ya? Jaraknya 70 kilometer!

Suatu kali, Kyai Cirebon gerah, merasa Tuhan memanggilnya Haji. Semua tahu, saat Tuhan Yang Maha Cerewet memanggil, kita hanya bisa menjawab dengan Labbaik.

Maka Kyai Cirebon pergi ke Jatibarang untuk minta didoakan agar rezekinya cukup lancar untuk berangkat haji.

Kyai Jatibarang pun tertawa meledek – antara sahabat, ledek-meledek adalah harta – “Koen ke Jatibarang aja jalan kaki, mau ke Mekkah jalan kaki juga?”

Kyai Cirebon nyengir. Dia yakin dirinya telah dipanggil. Dan dengan cara halal apapun harus menjawab Labbaik. “Pokoknya doakan!”

* * *

Beberapa bulan kemudian, Kyai Jatibarang meledek lagi sahabat yang muncul di rumahnya. “Pakaianmu serba putih. Mau ngaku-ngaku haji?”

“Weits, jangan salah. Aku haji beneran. Mau bilang makasih; berkat doamu, aku jadi berangkat haji.”

Senyum Kyai Jatibarang merekah penuh maklum. “Bagaimana Labbaikmu akhirnya sampai?”

“Niki, suatu hari seorang pegawai BUMN minta diangkat jadi murid ngaji. Terus bayarnya dengan mengajak berangkat haji. Gila ga sih? Cuma dengan modal ngaji aja bisa haji.”

Kedua sahabat itu kembali tertawa. Sepaham akan kuasa dan ironisme Sang Maha Pemanggil.

Mungkin Tuhan hanya perlu dipanggil. JawabanNya bagaimana terserah Dia.

2.2.12

Warisannya Guru Mengaji

Saat impian menjadi abu, menyapu. - Anonim

Seorang guru mengaji datang ke Kyai, “Gaji kula sebulan empat puluh ribu.”

Untuk ilustrasi – bukan mengumpan kasihan –  pak Guru bercerita tentang celananya yang semata wayang. Celana itu selalu bau dan lepek karena hanya dijemur antara jam mengajar. Pak Guru bukannya jorok, tapi kebersihan celananya kalah penting dibanding anak dan istri yang harus makan.

Sabun mahal.

Kata Kyai, “Jadi, sampeyan maunya bagaimana?”

“Mohon restunya, Pak Kyai, kula mau merantau ke Jakarta, jadi tukang ojek.”

“Setelah jadi tukang ojek, apa lalu akan menjadi kaya? Bukan cuma sampeyan saja yang akan tetap miskin, tapi juga semua anak yang mengikuti contoh gurunya.”

Pak Guru diam. Harapannya hangus, hatinya kecewa, dan idealisme Kyai ini menyebalkan.

“Pulanglah” kata Kyai, “jangan berkecil hati, dan yakini ilmu yang sampeyan ajarkan. Tuhan tak Alpa, tapi doyan mencoba. Kekayaan duniawi takkan berarti tanpa tabungan yang cukup untuk akhirat.”

Mungkin saat itu pak Guru merutuk dalam hati, “Gimana mau memikirkan akhirat, wong bertahan hidup saja susah.”

Beberapa bulan kemudian, pak Guru kembali. Katanya, “Alhamdulillah, pak Kyai, mertua saya meninggal.”

“Mertua meninggal kok disyukuri?”

“Bukannya mensyukuri mertua meninggal, tapi warisannya. Kula kebagian sawah setengah bahu.”

Kata Kyai, “Untung sampeyan tidak jadi mengojek kan? Bisa-bisa mertua sampeyan tidak jadi meninggal.”

Mungkin hidup memang cuma sekejap, menjalankannya saja yang susah. Mungkin bersabar memang lebih berat daripada mengarang ngawur.

Siapa tahu besok…

Catatan Kaki: Pernah dititipkan di lain blog.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...