20.5.10

Dongeng untuk Ibu: Meditasi (Bag.2)

Malam terakhir. Setelah sesi terakhir, Xifu manggil. Wawancara yang cuma dihadiri Beliau & para Pelayan Dhamma. Ga ada murid lain.

Mba keringet dingin; mencium gelagat mau diomeli.; “Ini pasti gara-gara ga bisa pol “Diam Diri Mulia” selama 10 hari.”

Tapi ternyata malah ditanya soal sorban. “Kenapa kalau meditasi kamu selalu menutupi mata dengan sorban, bukannya merem saja seperti yang lain?”

Mba ngelak,“Karena saya suka melamun kalau merem biasa?”

Xifu maksa, “Karena kalau kamu mejamkan mata, you see funny things?”

Mba nyengir. “Lu yang ngomong ya, Fu?”

“Kenapa ga bilang-bilang BAHWA KAMU BISA LIHAT MAHLUK HALUS? Apa kamu pikir saya ga bakal mengerti? Lihat apa aja selama di sini?”

Mba lihat banyak, bu. Tapi yang mba ceritain ke Xifu cuma yang penting. “Ada yang minta ikut pulang ke Jatibarang.”

“And you accepted?”

“He asked nicely.”Mba nahan tawa ngeliat muka Xifu yang kesel merasa dipermainkan.

“Kenapa ga ditolak?”

“You want him back?”

Xifu nggeleng; keabisan bahan. Jadi mba cerita yang lain:

“Seorang Biksu datang, nempelin setan kecil di bahu saya. Saya berusaha melepaskannya. Tapi Biksu itu bilang, Ya, meditasi adalah belajar tidak terpengaruhi dunia luar. Baik yang halus maupun yang kasar. Dan ketika saya kembali pasrah, setan kecil itupun lepas sendiri, kecewa karena gagal menggoda.”

Xifu kelihatan lebih lega. Karena dari latihan 10-hari, ga cuma setan yang terbawa, tapi juga satu-dua tunas dhamma.

Katanya sambil nepuk jidat mba, “You’re so young, and too gifted. What you need is wisdom.”

Wah, Fu, kalo ada yang jualan, saya juga mau yang kiloan.”

“I know,” katanya dengan penyesalan. “If only I could install you some.”

Mba kasihan ama Xifu; Beliau pengen mbantu tapi ga tau gimana. Jadi mba bilang, “Fu, meditasi memang bikin indera lebih tajam, dan akal sehat dipertanyakan. Tapi juga bikin hati lebih kokoh menghadapi yang halus-ringan maupun yang tidak.”

Buktinya, besoknya, sebelum pulang, tugas ngosek kamar mandi mba jalanin sambil nyanyi-nyanyi. Dan, baik Xifu maupun ibu dapat lagi cerita dari ruang hening penuh arti.

PS. Sakit yang kemarin udah mendingan kok, bu.

17.5.10

Dongeng untuk Ibu: Meditasi (Bag.1)

Jadi, bu, selama hampir 11 hari mba ngilang di gunung Geulis untuk latihan meditasi.

Ceritanya, di sana, tiap hari bangun jam 4 pagi, meditasi selama hampir 10-11 jam, sesekali diselang-seling makan & aktifitas lain, sampai tidur lagi jam 9:30.

Kalau ibu nanya, apa rasanya mba "mendapatkan" satu-dua yang penting dari sana, terus apa rasanya dengan meditasi ada BEBERAPA hal ruwet yang terselesaikan, dan apa jalan dari dunia luar ke kamar pribadi Tuhan dalam diri kita jadi lebih SEDIKIT lebih pendek...

Then, yes, the answer is a deep, quiet nod, mom. Ada hal-hal yang Timekeeper ga bisa ajarin. (saking tololnya mba, bukan karena beliau ga usaha). Beberapa poin penting yang mba dapat HANYA lewat meditasi 10-11 jam perhari.

Tapi ada juga kehilangan besar. Kehilangan ini terjadi karena sebelum pulang kemarin, bu, banyak teman2 seperguruan yang muji mba. Baik yang muda maupun yang sepuh.

Kata mereka, "Kamu baru pertama kali ikut latihan meditasi? Hebat; selama meditasi postur tubuhmu ga berubah, bahkan Xifu (guru) terlihat puas, semangat belajarmu besar sekali."

Mba cengar-cengir. Besar kepala. Belum tau dosa terbesar dari semua siswa adalah merasa puas diri. Karena itu...

Pagi ini, pas mandi, setelah semalaman tidur miring saking perih, dan sambil ketawa pasrah sekaligus lega karena merasa kena marah, mba ngumumin ke ibu bahwa mulai hari ini mba resmi punya ambeien ...

4.5.10

Cerita Sebelum Masuk Kandang

Di perjalanan ke Jakarta, otakku mengerut. Kram. Seandainya mulai besok ga bisa online selama 10 hari, artinya si Hning kudu diisi dengan tulisan terjadwal secukupnya. Paling ga biar ga ketara banget malesnya.

Tapi merasa harus ngarang malah bikin tambah macet. Udah bakat cuma segini-gininya, pake ditambah tegang deadline; makin keliatan aslinya.

Setengah putus asa, aku ngeluarin netbook. Barangkali menelanjangi layar bisa mengundang birahi para peri.

Yang ada, bocah di kursi seberang malah terpesona dengan mainan di pangkuanku. Anak itu duduk sejajar dengan ibu dan adiknya. Umurnya sekitar tujuh tahun, adiknya mungkin dua-belas tahun (cerewet gila!).

Aku makin gugup diperhatikan; tidak terlalu suka anak-anak, tapi juga tahu kekuasaan mereka terhadap yang lebih tua.

Anak tadi turun dari kursinya, menyeberang gang antara kursi sambil menyeret adiknya, lalu berhenti tepat di sebelahku. Asli. Nempel. Sambil melongo, perut mereka melesak tertekan sikuku.

Aku mengeluh dalam hati, menghitung kesengsaraan. “Deadline,10 hari absen, 7 hari tanpa ide, 3 draft sampah, ngantuk DAN dipelototi anak orang…Becanda kali ya?”

Nyerah deh.

Netbook aku tutup. Gantinya aku keluarin buku tulis dan pinsil. Mulai menghitung garis halaman. Awalnya lancar, “satu, dua, tiga…”  lalu mulai lupa…”uhm…eeenaammm…tuuujjuuuh…eh, mas, abisnya tujuh apa ya?”

Si mas tersentak. Dia menggeleng dan tersenyum malu-malu. Adiknya yang menjawab, “delapan!”

Terus?

“Sembilan!” kata mereka barengan. Cairlah kemalu-maluan.

Saat garis di halaman itu habis dihitung. “Yak, terima kasih. Untung kalian hafal. Sekarang, coba tebak ini gambar apa?” Aku membuka buku gambar yang isinya corat-coret manic-depresif.

Itu kucing…itu anjing…itu marah. Mereka menggeleng saat melihat ekspresi takut, dan kupu-kupu. Mungkin karena belum mengenal kedua hal tadi. Atau kupukupuku mirip coro.

“PINTAR!” aku bertepuk tangan. “Mau coba nggambar?”

Serentak keduanya menggeleng kenceng.

“Bagus.” Aku merobek dua lembar kertas kosong, memilih pinsil dan pena (“Hapusannya mana?” - “Oh, maaf.”), lalu kita bertiga terpekur dengan halaman kosong masing-masing.

Jovan menggambar Goro dari Mortal Kombat, lengkap dengan guratan otot perutnya dan keempat tangannya. Ica, adiknya yang lebih galak, menggambar kedua temannya: Salsa & Kirana. Lengkap dengan gigi geripis dan kepang sekolah Katolik.

Giliranku memamerkan hasil karya: 3 halaman tulisan, tak bergambar.

“Itu apa?”

“Ini dongeng. Tentang seorang anak laki-laki yang tertarik melihat netbook, lalu mendekati yang punya netbook lalu membantunya berhitung, lalu…kenapa? Nggak bagus?”

Mukanya lucu banget: nyaris robek dengan senyum, mata menyipit, melebar, lalu hilang di balik tangan dan tawanya.

Aku puas. Periku kembali. Dongengku dibeli. Hning boleh masuk kandang. Cerita ini untuk Artha Lintang.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...