7.9.12

“Rumah aing, Banda aing.”

  • Yaya anaknya Ibu, yang anaknya Ninik, yang anaknya U'u yang anaknya Unyang.
  • Kata orang, Unyang keturunan bangsawan Mandailing yang keluarganya diIslamkan semasa perang Paderi (1821-1837).
  • Dalam pertemuan keluarga, beberapa kali disebutkan bahwa Perang Paderi memengaruhi tradisi keluarga Unyang.
  • Sampai-sampai perkawinannya dengan Raja Barus berakhir dengan cerai dan Unyang mengutuk siapa saja keturunannya yang kawin sama orang Barus bakal sial.

Tapi jarak antara tahun kelahiran Unyang dengan diasingkannya Imam Bonjol nyaris 50 tahun. Apa hubungannya Unyang dengan Perang Paderi?

  • Seandainya Unyang sakit hati sama kaum Paderi, karena dongeng dari neneknya Unyang yang menyaksikan sendiri hilangnya hak dan rumah adat yang mestinya diwariskan kepadanya.
  • Perang Paderi berakhir karena bantuan Belanda: Penghulu Minang membuat perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. http://bit.ly/PLSXUL
  • Di catatan sejarah "Mandailings in Peninsular Malaysia" http://bit.ly/PLXW7Q -- Kaum Padri adalah orang Mandailing. Keluarganya Unyang sendiri.

Oh. Begitu.

  • Jadi Unyang marah karena (sebagai perempuan) dibuang dua kali. Sekali sama Kaum Paderi, kaumnya sendiri yang menghanguskan adat matrilineal.
  • Sekali lagi waktu dikawinkan sama Raja Barus yang lalu menceraikannya. Setelah bercerai, Unyang bukannya pulang ke Mandailing, tapi bawa putranya yang balita ke negeri Kerinci, Jambi.
  • Lima tahun sebelum anaknya Unyang lahir, Jambi baru ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
  • Sebenarnya Unyang lahir, tumbuhkembang, dan kawin di bawah pemerintahan Belanda. Mungkin karena itu cenderung lebih percaya kepada Belanda.
  • Buktinya, sampai Jepang masuk (1942), pemerintahan Belanda cenderung stabil. Cocok untuk membersarkan anak sampai dia bisa main biola dan ikut kegiatan musikal Melayu.
  • Paling tidak, di mata Unyang, Belanda yang asing tidak memaklumi penjualan gadis Mandailing, kan? (Sisi Gelap Perang Paderi http://bit.ly/PLWxhz)
  • Maklumlah kalau Unyang sampai mengutuk semua yang berasal dari Sumatera Utara sekencang itu. Sampai keturunan perempuannya keluyuran tanpa rumah sekian generasi. Mencari orang asing yang mau melindungi.

Tapi kutukan Unyang dikencangkan lagi dengan kutukannya neneknya Ibu, U'u.

  • Waktu Anggut menikah lagi, U'u mengambek terus pulang ke rumah ayahnya. Ayahnya bilang, "Kenapa kamu tidak bersikap seperti Siti Aisyah? Kamu istri orang, pulang ke rumah suamimu." - Itu strike one.
  • Strike two bagi U'u adalah waktu Anggut meninggal. Anak-anaknya U'u yang baru remaja lebih banyak yang gadis daripada yang lelaki. Mungkin mengurus mereka terasa lebih menyusahkan daripada yang lelaki.
  • Bukankah semakin cepat dikawinkan artinya semakin ringan tanggung jawab untuk menjaga mereka?

Kutukan itu diulang lagi waktu Ninik bercerai dan meninggalkan rumah Eyang hanya dengan bawa pakaian sekoper.

  • Anak-anaknya Ninik tidak ada yang merasa punya rumah. Semuanya keluyuran. Semuanya resah tak pernah pulang. Kawinnya sama orang-orang asing.
  • Dikawinkan, diperjualbelikan, diislamkan...sama saja. Intinya dibuang keluarga.
  • Ingat moto matrilineal: "Keluar kamu, ini rumah Aing, Banda Aing"? Ya, riset ini berasal dari situ.
  • Sejak Perang Paderi, mereka semua tidak bisa pulang, tidak punya rumah, cenderung menyimpan kepercayaan konyol terhadap orang asing, dan – mungkin saking bolak-balik disiapkan untuk dijual, dikawinkan, dibuang – malah cenderung mencurigai kaumnya sendiri.

Perang Paderi berakhir tepat 175 tahun yang lalu. Kaum Paderi pun akhirnya menerima kompromi. Mestinya tugas anak sebagai dagangan gengsi sudah tidak berlaku lagi. Moto sialan itu sudah waktunya diganti: “Selamat datang kembali ke rumahmu, Anggi.

  • Wawung ngga pernah nyuruh pergi. Selalu nyuruhnya pulang.

4.9.12

Catatan Tentang “Turbulence”

(Karena aku ingin mengenang dan belajar terbiasa dengan proses ini.)

  1. Beberapa hari ini menikmati bukunya Steinbeck yang berjudul “Once There Was A War”. Gaya cerita Steinbeck yang getir dan datar membuatnya lucu dan menjebak. Kadang tak peduli lagi apakah dia sedang berkelakar atau sekedar memberi informasi; cerita-ceritanya melesak dengan keringkasan kata-kata. Aku ingin bisa menulis begitu.
  2. Ibu  sedang di sini. Entah mengapa, dengan segala ketidakcocokan antara kami berdua, Ibu mengira aku lucu. Aku tidak melawak, tapi Ibu geli. Jadi, mungkin ada yang lucu dalam bahasaku bercerita. Amin.
  3. Inspirasi Turbulence datang beberapa bulan lalu. Saat itu aku benar-benar yakin bahwa pesawat yang kutumpangi akan jatuh dan aku tak akan bisa menjelaskan kenapa aku sampai (tak sengaja) mati. Aneh, bukan? Pikiran sebelum mati malah sebuah apologi: “Mohon maaf karena telah membuat Anda bersusah hati. Tadinya hanya berniat makan di Saudi. Ups, ternyata malah jadi begini.”
  4. Turbulence pernah aku draft selagi kepanasan di Tebet dan jauh dari tenggat. Meskipun sambil ditunggangi peri, tapi hasilnya sepat. Bertele-tele. Tulisan yang bertele-tele adalah biang mumet. Hapus.
  5. Hari itu menyenangkan. Aku bolot. Satu-satunya yang kulakukan adalah mengobrol dengan teman-teman yang sangat jauh tentang hal-hal yang sangat dekat. Ketika aku memohon diri, aku terbawa rasa terdesak. Rasa bahwa ini adalah percakapan pada akhir hayat. Bahwa hari ini, hanya tulisan ini yang akan mengingat. Dan pesawatku akan segera rampak. Untuk sekian kali-lipat.
  6. (Bukankah kematian memang berkali-lipat? Setiap malam? Setiap kali naik pesawat? Setiap kali mengucapkan doa selamat?)
  7. Turbulence yang akhirnya dipublikasi di blog ditulis begitu: terburu-buru. Pukul 22:10 mulai draft. Setengah jam diedit. Dites dengan Readability Tool sampai akhirnya mencapai nilai readability yang rapat. Pukul 23:30 lepas landas.
  8. Sambil menulis, aku mendengarkan Steinbeck. Kue gemblong. Yusi Avianto Pareanom. Aku kangen dan horny. Agak lapar. Tak yakin lagi mana yang lebih menyiksa; kantuk apa rasa bersalah.
  9. Tidak ada penulis yang merasa betul-betul puas dengan catatannya. Aku masih kangen dst.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...