20.6.11

Ruyati

"Rahmat sudah pergi dari semesta, sekarang tinggal Laknat yang tersisa. Maaf." - @Ribosa

Sebelum bertanya ke mana pembesar negara dan majikan yang tak membelanya, aku mau tahu, di mana orang tuanya waktu mereka berani minta kawin dan bikin anak tanpa kesiapan untuk memberinya penghidupan? Mana paman-paman, suami, keluarga lelaki yang katanya lebih kuat daripada perempuan? Mana guru, lurah dan kepala RT yang tak memberinya lahan untuk mencari makan di kampung sendiri? Mana tetangganya yang pamer perhiasan, baju baru dan ubin rumahnya hasil kerja di luar negri? Mana jancuk yang bisa baca tulis, yang menuliskan namanya di formulir permohonan paspor? Mana anak pintar yang tetap menunggui gajinya meskipun sudah akil-baliq, sehat wal afiat?

Nasib diciptakan dari yang kecil-kecil, yang sehari-hari. Sebelum bertanya di mana rahmat Tuhan saat dia meninggal, aku mau tahu, siapa saja yang bergilir melaknatnya selama ini?

3.6.11

Peng

Extravagance is the luxury of the poor; penury is the luxury of the rich. - Oscar Wilde
(Masih mengacu dari posting kemarin.)
Gimana caranya agar niat kita baik? Tahunya dari mana bahwa niat kita sudah baik, padahal rahasia hati milik Tuhan?
"Yang halal sudah jelas. Yang haram juga sudah jelas. Kalau bingung antara haram atau halal, lebih baik dijauhi…Karena mendekati shubhat seperti mendekati jurang; cepat atau lambat bakal terjerumus." - Kanjeng Nabi
Mungkin kita cuma bisa memantulkan tanda-tanda niat dari siklus prilaku. Mungkin maksudnya Wawung dengan “niat saat mencari duit”, juga bahasa Jawanya (baca: halusnya) bahwa yang melegalisir rejeki sebagai "halal”, adalah memandang siklus itu secara menyeluruh.
Dari metode mencari uang, meyimpan uang, mengeluarkan uang. Lalu diulang.
Hafalan
Sebelum melantur lebih jauh tentang duit, imani dulu: Rejeki tak kemana.
Tidak ada ciptaan yang mati sebelum rezekinya, sampai sen dan atom terakhir, mencapainya. Kalau sudah rezeki, biar lari sampai kemana, akan tetap mencapainya. Kalau belum rezeki, biar dikejar sampai kemana, tak akan sampai.
Itu satu. Amini dulu. Sudah?
Kedua: Setiap kali menyebut duit, maksudku bukan sekedar mata uang & berlian. Tapi semua yang material, termasuk baju, makanan, kecerdasan, kemudaan, broadband, anak, dsb. 
Masuk
Sekreatif apapun metodenya, undang-undang mencari penghidupan cuma satu: لا ضرر و لا ضرار. Jawane, jangan membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
(Itu tradisi Islamnya. Tradisi Buddhanya “Samma-Ajiva”. Tradisi Nasrani, Yesus. Tradisi logisnya: emang enak?)
Simpan
Secara dunia fana ini cobaannya sebentar-sebentar, metode proses (biar duit itu berkah bertambah; bisa bikin sejahtera, tak sekedar kenyang, apalagi jadi musibah) sama seperti metode penyimpanan makanan: begitu dibawa ke rumah, dicuci dulu sebelum masuk mulut.
Duit dicucinya dengan zakat & sedekah.
Di Islam, namanya Zakat & sedekah. Di Buddhisme, Dāna. Di Nasrani, charity. Di Undang-undang negara, pajak. Intinya sama: sabun dan mesin cucinya rezeki di tangan adalah berbagi dengan Tuhan dan manusia.
(Iseng: Tebak zakat & sedekahnya seks, suara & sahabat. Reply ke @Angsar. Hadiahnya RT. Hihi.)
Habiskan
Yang halal jelas, yang haram jelas. Yang bingung mancing kualat.
Lepas dari itu, riset membuktikan bahwa semakin mahal barang yang kita beli, semakin lancar hormon happy diproduksi otak, semakin percaya bahwa pembelian itu sebanding. (Pernah liat video tentang efek placebo?)
Makanya kalau ke mall, aku masih konflik, "masih halal ga sih beli satu lagi gadget? Kan belum punya MacJinjing!"
Wawung bilang boleh, karena lebih baik ngabisin duit di komputer jinjing daripada judi…atau judging orang. (halah)
Di lain waktu, Wawung juga pernah bilang, ngasih duit ke ajudan jangan kebanyakan. Nanti malah malas kerja, dan itu jadi dosanya kita yang ngasih tanpa perhitungan ama kemampuannya mengontrol dirinya.
Intinya ini, punya duit ga bikin hidup lebih gampang atau lebih susah dibanding yang duitnya pas-pasan. Duit itu sendiri pasif, elemen tak bego & netral. Ada banyak sekali orang yang bisa sejahtera dengan seceng-rongceng. Juga banyak sekali orang yang sengsara karena duitnya kebanyakan.
Titipan
Setekun-tekunnya kita bergulat untuk mengabadikan sesuatu, akhirnya semua akan pulang ke Pemilik Asal. Saat mengembalikan titipan, jawaban apa yang kita siapkan saat ditanya Sang Pemilik Asal: "Kau apakan saja titipanKu selama di tanganmu, bung?"
-------------
Catatan:
Peng: Duit (Bhs. Aceh prokem)
Tadinya ragu: topik ini terlalu remeh ga ya? Kebayang muka Pembaca memble, memutar mata karena merasa waktunya telah terbuang: Itu sih semua orang juga tau!! --- Iya, iya, maap. Yaya baru tahu, jadi pamer. (^..^)
Selain itu, menulis membantuku menghafal; seandainya lupa, ada saksi yang mengingatkan. Perempuan kan otaknya cuma setengah. Pfft.

1.6.11

Hiasan

Tiga sifat manusia yang merusak adalah: kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti, serta merasa puas diri . ~ Kanjeng Nabi

(Ini cerita lama. Baru mantul lagi tadi pagi, pas lagi males-malesnya orang disuruh mikir.)

Ada perempuan laporan ke Wawung. Katanya dia punya calon menantu yang tidak disenangi. Entah karena calon menantu itu preman sementara anaknya juragan atau mengapa, pokoknya sang ibu tak setuju.

Saking tak setujunya sampai rela melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke pedalaman Madura untuk mencari tukang teluh yang sihirnya dapat mematikan calon menantunya.

(Wawung cerita dengan mukanya yang paling rata, paling beku, tanpa ekspresi. Meskipun kantukku hilang blas disetrum kaget.)

Di Madura, ibu ini mengeluarkan uang jutaan. Berkali-kali. Tapi calon menantu itu tidak mati-mati juga. Karena mentok, akhirnya ke Wawung, yang kata orang kekuatan gaibnya kenceng.

Ah, masa iya? Wawung mengejek.

“Orang Madunten sihirnya pendek: melengkung, karatan, dipasang di pinggang, jaraknya sepanjang lengan. Tidak perlu duit banyak dan perjalanan jauh untuk mengaktifkannya; cukup cari Madunten lokal/Jakartaan. Dan mana ada Madunten tak nekat demi seceng-rongceng; dibayar sejuta-dua juta juga mau menanamkan celuritnya di badan lawan.”

Si Ibu bersikukuh. “Anak-anak saya juragan dan jagoan. Ayah mereka Jenderal penuh kesatriaan. Mau dibawa ke mana martabat keluarga jika dikotori darah mahluk rendahan?”

Kata Wawung, “Kalau mau dengan cara halus, ada wiridnya agar musuh menjauh. Sampean bisa kerjain sendiri. Tapi harus legowo sama Pangeran; karena wirid adalah mantra untuk melembutkan HatiNya. Mau saya ajarkan? Apa mau saya saja yang membacakan?”

(Di sini dahi Wawung berkerut. Duduknya jadi tegak. Suaranya kecewa.)

Memang betul, calon menantu itu akhirnya pergi tak kembali. Tapi semesta dan hati bersaksi. Belum Qiamat saja keburu terbukti: Bertahun-tahun kemudian keluarga itu bangkrut. Dulunya hartawan, akhirnya kapiran. Matinya melarat, boro-boro mau bermartabat.

 

Kata Wawung, Semuanya mulai dari niat. Itu selamat, tinggal jaga tabiat. Urusan Karma dan balasan, tinggal tabah lan tegar.

-------

PS. Wirid untuk menjauhkan musuh beneran ada. Aku pernah nyoba. Mempan banget; apa sih yang tak mempan kalau mintanya sama Pangeran? Dan, seperti senjata manapun, wirid tergantung niat pembacanya.

PPS. Sesama orang Madunten tidak boleh tersinggung. We looooove money.

PPPS. Sarapan ama Wawung biasanya ga bikin sekaget di atas kok. Honest!

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...