24.12.12

Peri Laut

...kilau peraknya......centilnya.....marahnya.....mahkotanya...      ...kuasanya... ...kekayaannya...

Tadi siang kami makan di warung sate. Mestinya kemarin acara ini diadakan, seandainya tak terjadi halangan. Halangan awan tebal yang berputar di atas kepala Yaya. Yaya, karena berbagai alasan, selalu menerima undangan makan dengan wajah masam karena terpaksa basa-basi berkepanjangan.

Perjalanan pulang dari restoran, mobil mengambil jalur yang jauh berputar. Mampir ke kotamadya terdekat dengan Pantai Utara, kota Tegal. Aku baru mengerti maksudnya ketika bulu kudukku meremang.

Badan dan buntutnya terentang selebar cakrawala, dari Jakarta sampai Madura. Mahkotanya menyentuh batas langit. Kilaunya perak kebiruan. Nyai Ratu Pantai Utara hadir dengan segala kemegahan.

“Wan,” kataku, “Potongannya peri-peri laut memang standarnya segitu-gitunya saja?”

Wawung tak tega menjitak di mobil orang. Jadi hanya bergumam mengiyakan.

Beberapa kali melihat peri laut, ternyata mereka memang tidak kreatif berdandan. Kurang lebih seperti gambaran seniman-seniman di atas. Termasuk yang termasyhur di seluruh muka Bumi urban: Nyai Starbucks. Jika peri Starbucks saja – yang dipetik dari budaya Norwegia – penampilannya begitu, artinya mereka semua memang tampangnya segitu-gitunya.

Paling banter, beda perhiasan dan perangkat kebesaran. Tapi pakemnya sama.

Sambil memikirkan fesyen bangsa itu, aku melihat yang di sana mengecil lalu melilit di jari manis salah satu penumpang mobil kami. Peri itu tampak nyaman. Keruan saja, empunya tidak sadar jarinya dijadikan tunggangan.

Aku melengos, pantas saja maksa makan di warung sate sejak kemarin. “Kok mau Ratu Laut jadi penglaris dagangannya orang?”

“Satenya enak,” kata peri itu centil.

“Terus, kalau sudah bosan?”

“Ya pulang. Susah amat.”

***

Sampai di rumah, aku berceloteh tapi tak panjang lebar. Pengaruh peri itu sudah mulai bekerja, hatiku ringan ketika aku menghidangkan minuman untuk tamu dan ajudan.

Kata Peri Laut, “Mau-maunya membuatkan kopi untuk tamunya Tuan Guru.”

“Diam kamu. Menyebalkan.”

“Sudahlah, ikhlasi saja. Memang rejekinya mereka dapat kopi buatanmu. Kami juga begitu. Seandainya bukan rejeki dan mereka tak berusaha sekuatnya, sesakti apapun mantra, tak akan mempan.”

“Aku bilang…”

“Jangan dibilang. Ditulis saja. Ini kado kami untukmu yang membuatkan kopi dan babu rekan kami, Peri Dongeng.”

22.12.12

Tentang Ritual Tahunan: ITAS

Siapa yang lebih patut dikasihani, penulis yang dibekap polisi apa yang segitu bebasnya sampai kehabisan topik untuk dibahas? - Kurt Vonnegut

  • Di Indonesia, selain kartu ITAS, WNA memiliki Buku Biru. Buku ini mencatat perpanjangan ITAS hanya sampai 6 kali. Setelah itu penuh dan harus keluar permanen dari Indonesia, lalu aplikasi ITAS dari awal lagi.
  • Bagi WNA yang sangat beruntung dan memiliki anggota keluarga dekat (orangtua atau suami/istri), setelah 5 kali perpanjangan ITAS, boleh mengajukan permohonan ITAP.
  • Masa berlaku ITAP adalah 5 tahun. Setelah dua kali perpanjangan ITAP, boleh memohon netralisasi untuk menjadi WNI.
  • Bagi yang menikah dengan WNI, netralisasi untuk menjadi WNI hanya memakan waktu 3 tahun.
  • Mengurus sendiri proses aplikasi dan perpanjangan selalu lebih murah dan ringkas daripada mengutus orang lain. Di lingkungan imigrasi, WNA nekat tersebut dilabeli Ybs. Label ini dapat merubah panggilan dari “Mbak” ke “Ibu sendiri?! Kok nggak kayak orang bule?!”
  • Jika dokumennya lengkap, prosesnya singkat. Terakhir kali aku perpanjangan, hanya tiga kali masuk kantor imigrasi: Serah berkas. Bayar dan Foto. Ambil berkas. Sudah.
  • Jeda antara setiap kali ke kantor imigrasi: 2-4 hari kerja.
  • Ribet/Ringkas adalah relatif. Kali sebelumnya, perpanjangan tahun 2011, sponsorku dimintai surat keterangan "Belum Menikah" dengan pengukuhan setingkat kecamatan, karena Ybs. telah melewati usia 30 dan masih disponsori orang tua.
  • Tahun ini aku ditanyai berkali-kali, "Mbak belum menikah?" - Aku bilang, berkali-kali juga, "Saya di sini menemani orangtua. Kalau saya menikah, saya tidak jadi mengurusi orang tua. Yang ada malah mengurusi mertua, anaknya mertua, cucunya mertua. Kasihan saya punya orang tua. Lagipula saya ikhlas tidak menikah. Happy, malah."
  • (Aku cenderung sinting setiap kali memikirkan ribetnya kehidupan rumah tangga di mana-mana. Tapi itu cerita untuk lain kali.)
  • Disponsori keluarga jauh lebih murah daripada disponsori perusahaan. ITAS yang disponsori keluarga biayanya kurang dari Rp 1 juta/tahun. Untuk ITAS yang disponsori perusahaan, di atas Rp 15 juta/tahun, karena adanya pajak untuk Depnaker. Per tahun 2008, biaya tersebut sebesar $100/bulan, atau $1200/tahun.
  • (Harga temen?) 
  • Aku lupa apa saja berkas yang dibutuhkan untuk ITAS yang disponsori perusahaan. Untuk ITAS yang disponsori keluarga, ini format surat Permohonan Perpanjangan ITAS yang biasanya aku pakai - sekaligus lampiran berkas yang menyertai di catatan kakinya. Jangan lupa diberi materai.
  • Waktu pertama kali memohon ITAS yang disponsori keluarga, aku dimintai akte kelahiran sponsor untuk membuktikan keIndonesiaan Beliau. Karena berkas tersebut sudah hilang, diganti dengan Ijasah SD sponsor.
  • Sekali lagi, Ribet/Ringkas adalah relatif. Setiap tahun aku semakin menikmatinya, semakin mensyukurinya. Sekedar jalan-jalan sekitar Jakarta Selatan aja sih tidak ada apa-apanya dibanding harus dideportasi jalan-jalan ke Jeddah.

Aku wanita Saudi, bung. Take a moment to understand what that means. Aku sangat menikmati fasilitas yang tersedia bagi penghuni Indonesia. Menikmati bisa jalan kaki sendiri ke warung, naik KRL ke Depok dan Bogor, dan merokok kretek seharga lokal. Udah gitu Bali deket pulak.

  • Sebelum memegang ITAS, setiap bulan aku bolak-balik KL untuk beli Visa On Arrival di Bandara Cengkareng. Pernah ditampung mantan pacarku di sana. Pernah juga, setelah menyimpan koper di locker Bandara KLIA, tidur sendirian, semalaman di kursi tunggu. Rasanya seperti terperangkap di dalam mal setelah menonton filem tengah malam. Sepi sekali. Bahkan Panggilan Penerbangan bungkam setelah pukul 10 malam. Pulangnya dapat 38 bentol besar di seluruh badan, setelah semalaman dirubung bangsat.
  • Dibanding kesusahan dan kesepian semacam itu, keliling Jakarta Selatan, tidur di rumah sendiri dan ditelpon Wawung (ditanyai kapan pulang) saban hari selama proses perpanjangan ITAS, adalah surga dunia. Gue jabanin dengan ringan hati prosedur apa saja yang harus dijalani demi dapat menetap di negara ini barang setahun, sehari lagi.
  • Buku biruku habis tahun ini.

7.12.12

Perjalanan Ceritanya Andhika

Bahwa setiap dongeng sudah ada pendengarnya, setiap tulisan sudah ada pembacanya.

Andhika tinggal di Dubai. Waktu pulang ke Jakarta, pas kebetulan aku sedang di sana. Dia mampir ke rumah, membawa oleh-oleh sebuah cerita.

Karena perinya lagi mangkel, cerita itu aku cantumkan dalam blog seadanya.

Posting Terpendek 2012!Tadi pagi aku lihat ini:

pagi yang menyenangkan

Masing-masing dari tweep di atas diikuti oleh beberapa RIBU follower. Aku tidak tahu berapa orang yang akhirnya membaca cuplikan dialog itu. Data yang kumiliki hanya mencantumkan pembaca yang masuk ke blog:

blog stats

…tidak termasuk yang membaca twitpic dari retweeter yang followernya ada beberapa ribu orang tadi.

Tapi ini semua masih belum apa-apa.

Tadi pagi aku mengulang lagi ceritanya Andhika ke Wawung. Wawung ketawa. Ceritanya dicatat.

(Wawung tulisan tangannya luthuuuuuuuu!!)

Untuk didongengi lagi ke rakyat Jatibarang saat mengaji nanti. Rakyat yang masih taat pada kyai itu nantinya akan membawa gema cerita itu dalam hatinya ke rumahnya, ke keluarganya, ke sawahnya. Untuk lebih mendekatkan Tuhannya, dan membantu menjaga kebaikan generasi berikutnya.

Untuk menambah lagi pahala pendongengnya yang pertama, Andhika R. Basha.

Amin.

19.10.12

Manifestasi

"Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan." ~ Roma 12:21

Tadi pagi Wawung cerita tentang ibu tiri yang membesarkannya.

Ibu kandung Wawung meninggal saat Wawung masih anak-anak. Ayahnya menikah lagi dengan, yang dibahasakan Wawung, Ibunya Ila. Ceritanya Wawung tentang malam meninggalnya Ibunya Ila membuatku terharu.

"Nangis ga, Wan?"
"Nggak."

Aku ketawa. Gimana mau nangis, wong saat memangku jasad Ibunya Ila, Ibunya Ila juga di situ memandanginya.

Pada dasarnya, semua orang bisa melihat setan dan arwah. Semua orang punya perangkat teknologi sel saraf yang mampu menembus alam sebelah. Teknologi saraf ini mungkin berbeda manifestasi. Ada yang manifestasinya dalam bentuk telepati, mimpi tanda, firasat, lihat setan.

Kalau alam ini saja dapat dirasakan, dimengerti dan dijelajahi dengan segala persyaratannya, apalagi alam sebelah yang telah ada sejak sebelum lahir? Segampang memejamkan mata.

Seperti semua ilmu dan keahlian, yang membuatnya tetap tajam adalah dengan tetap mengasahnya, mengamalkannya. Umumnya, karena didera pendidikan formal dan kebutuhan terhadap logika, indera ini lama terbengkalai. Jadi aus. Lalu terlupakan.

Sampai suatu saat kepepet (dan semua orang pasti bakal, suatu saat, kepepet sesak) menghadapi yang kasat mata, lalu meracau ke area luar-logika, area yang telah asing, area yang dulu ditingalkan karena sepi gengsi dan terbelakang, untuk dihiburi apa saja yang terasa menyenangkan.

Yang tak biasa selalu terpental, ‘kan?

Mungkin yang sial adalah orang yang tak kuat menghadapi manifestasi inderanya, lalu didera diagnosa kering dan aji-aji penumpul indera. Atau berlanjut dalam bentuk perilaku onar. Tapi yang beruntung juga bukan orang yang kuat dari sananya untuk menghadapi manifestasi indera, apalagi yang manifestasi inderanya terbuka dari semua jendela dan pintunya.

Yang beruntung yang diberi waktu untuk terbiasa secara perlahan dengan semua yang dimanifestasikan indera, baik yang halus maupun yang kasat mata. Lalu yang terbiasa bersyukur atas cinta semesta kepadanya, sampai-sampai sadar saat dikirimi guru pada setiap jendela dan pintu yang terbuka.

Beruntunglah dia yang menyadari kehadiran itu, dalam bentuk nasihat terselubung pada setiap pertemuan, baik dengan teman, kitab ataupun deduksi twiterriyyah. Beruntunglah dia yang menyadari adanya kehadiran yang membantunya memaknai, memasrahi dan mengamalkan apa yang telah tertera menjadi bagiannya dalam Kitab Takdir.

Sedikit demi sedikit. Sebatas syukur mengiringi kemampuan .

16.10.12

Metode Menjadi Kaya Dengan Menyupang

"Kekayaan pada umumnya mudah dicuri, kekayaan yang sesungguhnya tidak bisa. Dalam jiwa Anda terdapat sesuatu yang nilainya tiada tara yang tidak bisa diambil oleh siapa pun dari diri Anda." ~ Oscar Wilde

Okotber bulan Kesadaran Kanker Payudara.

Jadi, tadi pagi membahas operasi pengecilan dan pengencangan payudara dengan Wawung.

Kalau membicarakan payudara, Wawung selalu ujung-ujungnya cerita tentang Nyi Safad (bukan nama aslinya.)

Nyi Safad tinggalnya di pohon kunyit. Tinggi dan panjang. Saking panjang, tangannya menggapai sampai tanah. Payudara kanannya diselempangin ke bahu kiri. Payudara kirinya diselempangin di bahu kanan.

Suatu kali Wawung iseng memanggil Nyi Safad. Dipanggilnya pakai sajen kesenangan bangsanya: Candu. Nyi Safad, saking kesenangan dapat candu, tidak memerhatikan ada Wawung sedang mengendap-endap di belakangnya, memegang rokok tersulut. Isengnya Wawung sedang kambuh, rokok menyala itu disundut ke puting yang menggantung di punggung Nyi Safad.

Bagian ini, Wawung selalu lucu: Menggeliat-geliat dengan efek suara, "Eooow!" Nyi Safad terus menceburkan diri ke sungai terdekat.

Di antropologi bangsa jin, Nyi Safad termasuk Kasta Demit. Kasta penjaga rumah atau harta terpendam. Pergaulan antara manusia dengan Jin yang paling sering terjadi dengan kasta ini. Pohon Kunyit yang didiami Nyi Safad, misalnya, menyimpan emas.

Kalau manusianya cukup pintar dan kuat, Demit bisa diajak transaksi dagang. Setelah mereka hadir, tawarkan barter. Demit boleh dapat dagangan kita asal beli dengan uang atau harta. Beda sajen, beda demit. Misalnya pasang candu, yang datang Nyi Safad atau tuyul. Misalnya pasang hati gagak, yang datang kuntilanak atau genduruwo.

Siapa saja dengan metode di atas boleh transaksi dengannya. Saat memohonnya dari Allah, dari manapun rejeki itu datang, masih wajar, kan?

Yang tak wajar nafsunya manusia.

Setiap kali kita dengar cerita tentang orang menyupang, selalu ada "Precautionary note" pada akhir cerita itu. Ya anaknya mati, atau orang itu kesurupan, atau musibah sebesar-besarnya menghampiri. Kita sering dengar tentang orang-orang yang susah atau mati tak wajar setelah transaksi dengan bangsa itu.

Tapi bukan salah bangsa itu.

Bayangkan sinting yang pecah karena memegang bara sebelum bersarung dinginnya sengsara. Adakah kata "Cukup" melintas di bibir orang kalau soal harta? Segalak-galaknya setan, mereka tetap lebih rendah dari manusia. Yang salah, setiap kali, adalah manusia. Yang tak pernah puas. Yang terus-menerus kehabisan hartanya sebanyak apapun yang dipegang. Sampai gila. Gila harta.

Baru ingat. Oktober bulannya Samhain. Bulan dimana perbatasan antara alam menipis. Bulan panen. Selamat Halloween. Semoga kita ketiban harta terbaik, kesabaran sebesar Bumi yang tak pernah bosan berkeliling.

7.9.12

“Rumah aing, Banda aing.”

  • Yaya anaknya Ibu, yang anaknya Ninik, yang anaknya U'u yang anaknya Unyang.
  • Kata orang, Unyang keturunan bangsawan Mandailing yang keluarganya diIslamkan semasa perang Paderi (1821-1837).
  • Dalam pertemuan keluarga, beberapa kali disebutkan bahwa Perang Paderi memengaruhi tradisi keluarga Unyang.
  • Sampai-sampai perkawinannya dengan Raja Barus berakhir dengan cerai dan Unyang mengutuk siapa saja keturunannya yang kawin sama orang Barus bakal sial.

Tapi jarak antara tahun kelahiran Unyang dengan diasingkannya Imam Bonjol nyaris 50 tahun. Apa hubungannya Unyang dengan Perang Paderi?

  • Seandainya Unyang sakit hati sama kaum Paderi, karena dongeng dari neneknya Unyang yang menyaksikan sendiri hilangnya hak dan rumah adat yang mestinya diwariskan kepadanya.
  • Perang Paderi berakhir karena bantuan Belanda: Penghulu Minang membuat perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. http://bit.ly/PLSXUL
  • Di catatan sejarah "Mandailings in Peninsular Malaysia" http://bit.ly/PLXW7Q -- Kaum Padri adalah orang Mandailing. Keluarganya Unyang sendiri.

Oh. Begitu.

  • Jadi Unyang marah karena (sebagai perempuan) dibuang dua kali. Sekali sama Kaum Paderi, kaumnya sendiri yang menghanguskan adat matrilineal.
  • Sekali lagi waktu dikawinkan sama Raja Barus yang lalu menceraikannya. Setelah bercerai, Unyang bukannya pulang ke Mandailing, tapi bawa putranya yang balita ke negeri Kerinci, Jambi.
  • Lima tahun sebelum anaknya Unyang lahir, Jambi baru ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
  • Sebenarnya Unyang lahir, tumbuhkembang, dan kawin di bawah pemerintahan Belanda. Mungkin karena itu cenderung lebih percaya kepada Belanda.
  • Buktinya, sampai Jepang masuk (1942), pemerintahan Belanda cenderung stabil. Cocok untuk membersarkan anak sampai dia bisa main biola dan ikut kegiatan musikal Melayu.
  • Paling tidak, di mata Unyang, Belanda yang asing tidak memaklumi penjualan gadis Mandailing, kan? (Sisi Gelap Perang Paderi http://bit.ly/PLWxhz)
  • Maklumlah kalau Unyang sampai mengutuk semua yang berasal dari Sumatera Utara sekencang itu. Sampai keturunan perempuannya keluyuran tanpa rumah sekian generasi. Mencari orang asing yang mau melindungi.

Tapi kutukan Unyang dikencangkan lagi dengan kutukannya neneknya Ibu, U'u.

  • Waktu Anggut menikah lagi, U'u mengambek terus pulang ke rumah ayahnya. Ayahnya bilang, "Kenapa kamu tidak bersikap seperti Siti Aisyah? Kamu istri orang, pulang ke rumah suamimu." - Itu strike one.
  • Strike two bagi U'u adalah waktu Anggut meninggal. Anak-anaknya U'u yang baru remaja lebih banyak yang gadis daripada yang lelaki. Mungkin mengurus mereka terasa lebih menyusahkan daripada yang lelaki.
  • Bukankah semakin cepat dikawinkan artinya semakin ringan tanggung jawab untuk menjaga mereka?

Kutukan itu diulang lagi waktu Ninik bercerai dan meninggalkan rumah Eyang hanya dengan bawa pakaian sekoper.

  • Anak-anaknya Ninik tidak ada yang merasa punya rumah. Semuanya keluyuran. Semuanya resah tak pernah pulang. Kawinnya sama orang-orang asing.
  • Dikawinkan, diperjualbelikan, diislamkan...sama saja. Intinya dibuang keluarga.
  • Ingat moto matrilineal: "Keluar kamu, ini rumah Aing, Banda Aing"? Ya, riset ini berasal dari situ.
  • Sejak Perang Paderi, mereka semua tidak bisa pulang, tidak punya rumah, cenderung menyimpan kepercayaan konyol terhadap orang asing, dan – mungkin saking bolak-balik disiapkan untuk dijual, dikawinkan, dibuang – malah cenderung mencurigai kaumnya sendiri.

Perang Paderi berakhir tepat 175 tahun yang lalu. Kaum Paderi pun akhirnya menerima kompromi. Mestinya tugas anak sebagai dagangan gengsi sudah tidak berlaku lagi. Moto sialan itu sudah waktunya diganti: “Selamat datang kembali ke rumahmu, Anggi.

  • Wawung ngga pernah nyuruh pergi. Selalu nyuruhnya pulang.

4.9.12

Catatan Tentang “Turbulence”

(Karena aku ingin mengenang dan belajar terbiasa dengan proses ini.)

  1. Beberapa hari ini menikmati bukunya Steinbeck yang berjudul “Once There Was A War”. Gaya cerita Steinbeck yang getir dan datar membuatnya lucu dan menjebak. Kadang tak peduli lagi apakah dia sedang berkelakar atau sekedar memberi informasi; cerita-ceritanya melesak dengan keringkasan kata-kata. Aku ingin bisa menulis begitu.
  2. Ibu  sedang di sini. Entah mengapa, dengan segala ketidakcocokan antara kami berdua, Ibu mengira aku lucu. Aku tidak melawak, tapi Ibu geli. Jadi, mungkin ada yang lucu dalam bahasaku bercerita. Amin.
  3. Inspirasi Turbulence datang beberapa bulan lalu. Saat itu aku benar-benar yakin bahwa pesawat yang kutumpangi akan jatuh dan aku tak akan bisa menjelaskan kenapa aku sampai (tak sengaja) mati. Aneh, bukan? Pikiran sebelum mati malah sebuah apologi: “Mohon maaf karena telah membuat Anda bersusah hati. Tadinya hanya berniat makan di Saudi. Ups, ternyata malah jadi begini.”
  4. Turbulence pernah aku draft selagi kepanasan di Tebet dan jauh dari tenggat. Meskipun sambil ditunggangi peri, tapi hasilnya sepat. Bertele-tele. Tulisan yang bertele-tele adalah biang mumet. Hapus.
  5. Hari itu menyenangkan. Aku bolot. Satu-satunya yang kulakukan adalah mengobrol dengan teman-teman yang sangat jauh tentang hal-hal yang sangat dekat. Ketika aku memohon diri, aku terbawa rasa terdesak. Rasa bahwa ini adalah percakapan pada akhir hayat. Bahwa hari ini, hanya tulisan ini yang akan mengingat. Dan pesawatku akan segera rampak. Untuk sekian kali-lipat.
  6. (Bukankah kematian memang berkali-lipat? Setiap malam? Setiap kali naik pesawat? Setiap kali mengucapkan doa selamat?)
  7. Turbulence yang akhirnya dipublikasi di blog ditulis begitu: terburu-buru. Pukul 22:10 mulai draft. Setengah jam diedit. Dites dengan Readability Tool sampai akhirnya mencapai nilai readability yang rapat. Pukul 23:30 lepas landas.
  8. Sambil menulis, aku mendengarkan Steinbeck. Kue gemblong. Yusi Avianto Pareanom. Aku kangen dan horny. Agak lapar. Tak yakin lagi mana yang lebih menyiksa; kantuk apa rasa bersalah.
  9. Tidak ada penulis yang merasa betul-betul puas dengan catatannya. Aku masih kangen dst.

7.4.12

Janji

Hobo Fella by osksta

Ketika kau berjanji
Akan mencintaiku selamanya
Waktu malah menculikmu
Menyandera berhari-hari
Berbulan-musim
Tanpa tuai kepastian


Sementara di sini,
Kesetiaan terus membatu
Percaya setulusnya pada Waktu
Yang mengumbar janji kuna
Dan menggantung segenap asa
Pada mantra: “Besok!”

6.4.12

Burungnya Telat

Good or Evil? by *gureiduson

Ratu Balqis bertolak tadi pagi
Menanggalkan kuasa dan abdi
Menyeret istana dan kursi
Menyeberangi gurun bisu-tuli
Untuk mencari sendiri
Hudhud yang tak kunjung hadir

Hudhud yang tak kunjung hadir
Terlambat mengantar kabar
Karena raja sibuk menggubah lagu
Sibuk mengejar wanita keseribu
Sibuk menghitung harta bertabur
Sibuk mengalunkan mizmar Zabur

Ketika akhirnya hudhud hadir
Membawa kabar, menguak tabir
Memimpin jin, menuang anggur
Ratu telah lebur dalam pasir
Dan pagi itu menjadi saksi
Hudhud Raja ditolak Balqis

5.4.12

Asongan

Lonely Fighter by Eckenheimer

Rupanya kau telah pergi
Mengemas haru dalam koper
Menyisipkan sore dalam saku
Meninggalkan salam di meja
Menebas keputusan di rambut

Aku menyadari kepergianmu
Lama sebelum kau pamit
Jauh sebelum sepi hadir
Menebar sedih yang meluap
Dari botol harapan kosong

Aku melihatmu ditelan zaman
Saat ia menjemput kehampaan
Yang kini berdagang rindu di jalan
Menawarkan sesal dan andai
Dengan bonus gratis hasrat basi

Rupanya kau menoreh kenangan
Dan mengerat perih di hati
Kau sisipkan itu dalam keabadian
Yang kau tahu akan sering dibelai
Penantian yang tak kunjung selesai

4.4.12

Lukisan

Autumn's tales by Teonora

Aku melukismu dalam puisi
Semua yang terjadi,
Semua yang tak jadi
Tertata rapi dalam bahasa

Aku mengenangmu
Memesona, memukau
Cerdas tak kepalang
Mencintaiku sepenuh hati

Aku mengingatmu
Menyakitkan, menakutkan
Bejat tak kepalang
Menyiksaku sepuas hati

Aku memahatmu dalam puisi
Dirimu yang kurekayasa
Dirimu yang sesungguhnya
Bias antara ngeri dan angan

3.4.12

Asia

BellaDonna by ~kensei99

Putraku, putra bangsaku,
Kembalilah ke rumah ibumu
Sambung lidah kelu adikmu
Pungut lagi tongkat sihirmu
Kembalikan hati Asia padaku

Putraku, Pangeran kecilku
Gadaikan Mesir, tiadakan Firaun
Ratakan piramida, keringkan Nil
Resapkan Harta Karun dalam pasir
Tapi pulangkan Ratu ke rumahku

Putraku, Hibah Tuhanku
Kuakui kebenaranmu, kuanut risalahmu
Kubebaskan banimu, kujunjung kitabmu
Tapi demi Kebesaran Ilahi dan Ilahmu
Nyanyikanlah pujian permaisuriku

Putraku, Pengiris hatiku
Karena menolak pulang kembali
Dewi yang tak memujaku lagi
Kini harum semerbak surgawi
Dengan belati, kuantar sendiri

2.4.12

Raksasa

hades and persephone 2

Langkah diberati gema,
Raksasa berdiri sendiri
Datang memberi nama
Segala benda miliknya

“Ini Milikku, itu Milikku,
semua adalah hak Milikku”

Setelah semua ditandai
Dengan nama dan jari
Raksasa disalib perih
Jerit kesadaran memecut

"Hanya damai hakiki,
Yang tak dapat ia miliki"

1.4.12

Bunyi

Kami menantikanmu sambil
Memantau kletak-kletik
Yang sayup terdengar
Dari balik kotak iga

Tik-tak-tik-tuk
Tik-tak-tik-tuk
Gema-gema sepi
Dipantulkan waktu

*****

Ayo,
Bekukan koleksi kita
Jadi kelereng mentereng
Bulat-bulat, semuanya bulat
Untai jadi tasbih
Sepanjang nafas
Sekusut nestapa

Tasbih kenangan
Diuntai benang rapuh
Bekas rumah laba-laba
Yang tadi digencet
Karena menertawai wirid
"tik-tak-tik-tak"

*****

Ayo,
Tebar kenangan segenggam
Di buku takdir
Tahan dalam halaman
Agar tak loncat-celat
Antara daun telinga

Oh!
Butir bulat-bulat
Malah tumbuh pesat
Merambat jadi angan
Pahit, sepat, mencekat
Seperti tangis tertahan
Seperti janin tak jadi anak

*****

Wah,
Kelereng kita besar
Asyiknya diadu
Tapi mana ada yang mau
Beradu kenang denganmu?

*****

Punguti lagi kelereng kita
Kita pintal jadi cerita
Rajut cerita jadi puisi
Puisi-puisi, kecil-kecil
Kecilnya senyamuk

Kelereng kita tak berdetak lagi
(Bukannya mati mendadak
hanya berganti wadah)
Sekarang bunyinya "ngiiing"
Denging heningnya penantian

*****

Karena tik-tak dan ngiiing
Bukan kalimat sempurna
Untuk merayumu pulang
Maka,
Kita akan tetap mengeras
Hari ini kita main kelereng
Hari ini kita tata kenangan
..sendiri-sendiri..

 

Juni 2006

Tentang Pekan Pertama #30Romadi Bersama @G30HM

“The greatest conflicts are not between two people but between one person and himself.” ~ Garth Brooks

Sebelum terbawa sinting dengan ikutan berusaha posting sepanjang bulan April bersama G30HM, ada beberapa poin tentang 7 Hari Menulis Puisi (tema pekan pertama) yang rasanya perlu diperjelas.

  • Pada dasarnya, saya tidak doyan puisi. Tidak suka membaca, apalagi menulis puisi. Jarang sekali ada penyair yang kuat menjaga perhatian saya lebih lama dari dua bait.
  • Menurut saya ada dua jenis penyair:
    • Satu: Yang kemampuan bahasanya belum cukup, sehingga hanya dapat berekspresi dalam bentuk kalimat patah-patah yang dia klaim sebagai bait.
    • Dua: Yang kemampuan bahasanya segitu hebatnya sampai-sampai bisa membulatkan planet dengan sebaris bait.
  • Ada kalanya muncul puisi yang menurut saya luar biasa dari penyair biasa yang mampu menjambret perhatian sampai bait terakhir, tapi biasanya puisi itu tentang saya. (Iya, saya narsis. Full. Makasih. Selera boleh seenak udel subyektif.)
  • Pertengahan tahun 2006 saya demam menulis puisi. Syukurnya, demam itu tidak pernah kambuh lagi (kecuali sekali itu, setelah seminggu bercengkrama dengan seorang penyair). Seingat saya, puisi-puisi itu tidak pernah dipublikasi di media manapun. Jadi, ya, dengan modal 7 puisi pilihan itu saya sok puitis dan ikutan #30Romadi.
  • Ini bukan aksi April Mop. Sumpah.

Sekian curhatan tak penting penjelasan dari saya. Selamat datang musim semi, selamat menikmati puisi.

8.2.12

Kabel

Aku menimang gulungan kabel di tanganku.

"Ini siapa yang menggulungkan, ya? Seingatku, pagi itu hanya tinggal kita berdua di kamar. Berbagi rokok, berbenah, tak rela."

Amat kecil kemungkinan bahwa gulungan rapi itu hasil kerjaku. Aku terlalu kusut. Jadi, ya siapa lagi kalau bukan dia, teman seperjalanan saat liburan/kerja terakhir.

Ketika hendak kubuka gulungannya, aku meditasi sebentar. "Ini hasil kerja tangannya; tanda perhatiannya padaku, pada milikku. Sejak dibeli, dipakai bersama, sampai akhirnya di sini, ada bekas dirinya. Jika kulerai, bukankah akan larut lagi dalam kenangan?"

Manusiawi, ya? Sering tak rela dan masih menyangkut-nyangkut dalam kenangan.

(Segitu tak relanya, sampai difoto segala.)

Karena di rumah belum ada kabel yang lebih canggih, dan aku harus segera menghidupkan sekian banyak perangkat, terpaksa kulerai gulungan kabel kramat itu.

Colok dalam electric socket.

Lalu merasakannya mbledag hangus & putus di tanganku. Sekaligus listrik serumah.

Manusiawi, ya? Kalau tak rela, menyangkut-nyangkut dan mengeyel langsung kualat. Hihihihi.


Iya, ini apologi untuk posting kemarin.

7.2.12

Satu Lagi Tentang Diam

Maturity is a bitter disappointment for which no remedy exists, unless laughter could be said to remedy anything. ~ Kurt Vonnegut

Satu lagi cerita tentang “Salahnya yang diam satu, salahnya yang ngomong seribu.”


Jadi beberapa bulan yang lalu Yaya patah hati. Alasannya klise banget: Pacarnya pacaran lagi sama orang lain. Tanpa pengumuman.

Tipikal gaya Virgo mengamuk adalah diam seribu-satu bahasa. Pada awalnya, at least. Jadi, begitu tahu pacarnya sudah buka cabang di lain hati, Yaya langsung masuk kepompong hening. Diam sediam-diamnya. Tak berbunyi di twitter, Facebook apalagi temu langsung.

Selama diamnya itu, Yaya naik gunung, retret meditasi. Tahu dong seperti apa retret-retret gila itu. Yang tadinya masih komunikasi verbal sama orang rumah, di gunung tidak komunikasi sama sekali dengan siapapun. Seperti zombie tapi masih makan & mandi.

Dan karena diam, semua tenaga pikirannya menyatu. Bawah sadarnya meruah. Pacarnya yang bikin sakit hati itu dimutilasi berkali-kali dalam bayangan.

Tapi brutalitasnya cuma sampai pikiran saja. Sumpah. Karena begitu turun dari gunung, Yaya ceria kembali; akselerator bahasanya dibablasi, dan banyak yang tersinggung karenanya. Tapi bukan itu inti ceritanya.

Pada saat-saat galaunya kambuh, Yaya menggerataki linimasa mantannya yang membuatnya begitu brutal dalam hening. Salah satu update statusnya tentang sakit punggung. Punggung? Bukannya itu bagian paling sering yang Yaya potong-potong dalam bayangannya selama puasa bahasa dan angkara murka?

Mungkinkah?

*

Waktu Kanjeng Nabi bilang “Jangan marah”, ada banyak alasan terselubung dalam titahnya. Orang yang diam bukannya lemah. Apalagi saat marah. Khususnya yang sedang marah.

Mau percaya atau tidak, ada yang kekuatan laten yang menumpuk dari emosi yang dibendung. Karya seni, misalnya, butuh fermentasi agar matang. Juga zaman dulu, para Resi dan Wali sering bertapa di hutan untuk menajamkan indera dan kekuatan.

Diam, baik sehari atau sesaat, juga begitu.

*

Lanjut cerita tadi, ya? Kasihan dong tuh mantan cuma diceritakan sampai punggungnya kecekit. Apa tak ada happy ending baginya? Biar kata dia kunyuk, masih karya Tuhan, kan?

Beberapa hari yang lalu, si kunyuk mantan menelepon selagi Yaya masih di ambang galau: Belum sarapan, masih mengantuk dan rada horny. Dari percakapan itu, emosi Yaya terpancing; segala sumpah serapah yang dipendamnya selama beberapa bulan terakhir meluncur deras dari mulutnya.

Lelaki itu bukannya terpekur memikirkan kesalahannya malah tertawa-tawa kesenangan. Sakit punggung dan galaunya sembuh total saat mendengar Yaya tak kuasa menahan marah, bok.

Sementara Yaya? Haha.

Setelah berhasil membungkam mulutnya dengan kepalan tangan dan selusin kaus kaki, akhirnya tertawa juga. "Ya sudahlah, biarlah kampret itu sembuh dan tertawa lagi. Mungkin memang masa hukumannya sudah selesai, dan sudah waktunya ia dimaafkan. Semoga pacar barunya lebih erat mengendalikan mulut dan mampu menyiksanya lebih lama. Amin.”

6.2.12

Maling

Salah'e sing meneng siji. Salah'e sing ngomong sewu. - Wawung

Pak Kyai memiliki ayam jago kesayangan yang ganteng, nyaring & gagah. Setiap pagi dimandikan, diajak biacara dan diberi pakan terbaik untuk menjaga kesehatan dan keindahannya.

Suatu hari, ketika hendak memulai ritualnya bersama ayamnya, ternyata ayam itu tak lagi bertengger di kandangnya. Hilang! Dicuri!

Karena ibadah dan sikapnya selama ini mendidik sang kyai untuk bersabar, maka beliau hanya diam mengikhlaskan.

Di lain tempat, maling yang baru kekenyangan karena makan ayam jago colongan, tiba-tiba merasa gatal seluruh badan. Semakin digaruk kulitnya, semakin gatal. Lama-kelamaan berisisik, bernanah dan mengelupas, seperti bulu ayam yang tak selesai dicabuti.

Maling tersebut menangis. Ia tahu, ini karma dari mencuri ayam dari orang yang hatinya terpaut pada Tuhannya: Keikhlasan dan diamnya membalas sendiri pada yang bersalah padanya.

Makin hari kulitnya yang bersisik makin gatal, buruk dan membusuk tak tertahankan. Maka maling itu ke dokter, tabib, dukun untuk mengobati kesakitannya. Tapi tak ada yang berani membantu, takut terpental kutukan tersebut.

Akhirnya maling ayam menemui gembong maling dan mengadukan nasibnya.

Gembong tersebut menjitak teman seprofesinya, tapi juga mengasihaninya. Ia berjanji akan menemui kyai tersebut untuk mengorek kedalaman ikhlasnya.

"Saya gembong maling, Pak Kyai, mohon bimbing pertaubatan saya."

Pak Kyai melakukan pekerjaannya: memberi wejangan, menatakan intervensi, dan membuka hati selapang simpati.

Pada rehat perbincangan, gembong maling bertanya, "Bapak dulu punya ayam jago bagus, ya? Apa kabarnya sekarang?"

Kemarahan dalam bahasanya menodai ikhlas sang kyai, juga meringankan hukuman kunyuk di sana. Begitu sang Kyai bilang, "Dasar yah, umat tak tahu malu. Ayam orang cuma satu aja kagak selamet!" -- Rontoklah semua gatal, bulu dan nanah di badan maling ayamnya.

4.2.12

Angan

__Wishing___by_NecromancyPrince

Kyai Cirebon itu hidupnya dari dan untuk mengaji. Orang yang garis hidupnya begitu, umumnya tidak boleh tergoda harta. Atau ajarannya akan jadi basi, dan semua muridnya juga basi.

Makanya Kyai Cirebon itu miskin. Saking miskinnya, kalau mau main ke rumah sahabatnya di Jatibarang, bolak-balik Cirebon-Jatibarang berjalan kaki.

Jatibarang yang di Brebes, lho ya? Jaraknya 70 kilometer!

Suatu kali, Kyai Cirebon gerah, merasa Tuhan memanggilnya Haji. Semua tahu, saat Tuhan Yang Maha Cerewet memanggil, kita hanya bisa menjawab dengan Labbaik.

Maka Kyai Cirebon pergi ke Jatibarang untuk minta didoakan agar rezekinya cukup lancar untuk berangkat haji.

Kyai Jatibarang pun tertawa meledek – antara sahabat, ledek-meledek adalah harta – “Koen ke Jatibarang aja jalan kaki, mau ke Mekkah jalan kaki juga?”

Kyai Cirebon nyengir. Dia yakin dirinya telah dipanggil. Dan dengan cara halal apapun harus menjawab Labbaik. “Pokoknya doakan!”

* * *

Beberapa bulan kemudian, Kyai Jatibarang meledek lagi sahabat yang muncul di rumahnya. “Pakaianmu serba putih. Mau ngaku-ngaku haji?”

“Weits, jangan salah. Aku haji beneran. Mau bilang makasih; berkat doamu, aku jadi berangkat haji.”

Senyum Kyai Jatibarang merekah penuh maklum. “Bagaimana Labbaikmu akhirnya sampai?”

“Niki, suatu hari seorang pegawai BUMN minta diangkat jadi murid ngaji. Terus bayarnya dengan mengajak berangkat haji. Gila ga sih? Cuma dengan modal ngaji aja bisa haji.”

Kedua sahabat itu kembali tertawa. Sepaham akan kuasa dan ironisme Sang Maha Pemanggil.

Mungkin Tuhan hanya perlu dipanggil. JawabanNya bagaimana terserah Dia.

2.2.12

Warisannya Guru Mengaji

Saat impian menjadi abu, menyapu. - Anonim

Seorang guru mengaji datang ke Kyai, “Gaji kula sebulan empat puluh ribu.”

Untuk ilustrasi – bukan mengumpan kasihan –  pak Guru bercerita tentang celananya yang semata wayang. Celana itu selalu bau dan lepek karena hanya dijemur antara jam mengajar. Pak Guru bukannya jorok, tapi kebersihan celananya kalah penting dibanding anak dan istri yang harus makan.

Sabun mahal.

Kata Kyai, “Jadi, sampeyan maunya bagaimana?”

“Mohon restunya, Pak Kyai, kula mau merantau ke Jakarta, jadi tukang ojek.”

“Setelah jadi tukang ojek, apa lalu akan menjadi kaya? Bukan cuma sampeyan saja yang akan tetap miskin, tapi juga semua anak yang mengikuti contoh gurunya.”

Pak Guru diam. Harapannya hangus, hatinya kecewa, dan idealisme Kyai ini menyebalkan.

“Pulanglah” kata Kyai, “jangan berkecil hati, dan yakini ilmu yang sampeyan ajarkan. Tuhan tak Alpa, tapi doyan mencoba. Kekayaan duniawi takkan berarti tanpa tabungan yang cukup untuk akhirat.”

Mungkin saat itu pak Guru merutuk dalam hati, “Gimana mau memikirkan akhirat, wong bertahan hidup saja susah.”

Beberapa bulan kemudian, pak Guru kembali. Katanya, “Alhamdulillah, pak Kyai, mertua saya meninggal.”

“Mertua meninggal kok disyukuri?”

“Bukannya mensyukuri mertua meninggal, tapi warisannya. Kula kebagian sawah setengah bahu.”

Kata Kyai, “Untung sampeyan tidak jadi mengojek kan? Bisa-bisa mertua sampeyan tidak jadi meninggal.”

Mungkin hidup memang cuma sekejap, menjalankannya saja yang susah. Mungkin bersabar memang lebih berat daripada mengarang ngawur.

Siapa tahu besok…

Catatan Kaki: Pernah dititipkan di lain blog.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...