30.4.10

Stop. Now.

Stop, I want to tell you.

Stop trying to be happy. Stop wishing for happiness. Please, stop. Stop making things and people and every other things responsible for your happiness.

That’s what every religion and faith is trying to teach you. Acceptance. Keikhlasan. الإيمان بالقدر خيره و شره

You’ve had a great life. You’ve made the choices you believed in. You are loved. Everything that did not happen doesn’t matter.

No, really, they don’t.

What matters is now.

Be happy. Now.

29.4.10

Old Friends

Friends are lost by calling often and calling seldom. - Proverb

Old folks are nostalgic obsessive compulsive memory hoarders. We gather trinkets and receipts and movie tickets. We laminate letters, frame pictures and rarely delete text messages. 

That’s how we end up with a roomful of absent friends!

So we rattle and sieve and sort them. Not to discard any, but make more room for more. Just in case.

Rearranging our old friends, we end up with three categories:

Soul Mates

There’s this set of old friends whom we take for granted to trust. We exchanged vows or friendship rings. Situation just brought us together. And situation set us apart too. We separated amicably, and had very little conflicts of interest, beside the shared domesticity and heart-to-heart conversations.

Nowadays, anytime we start a conversation with this set of friends, it’s as if we never separated. Time and space has lost its power over our relationship. Because the soul is permanent, and there is a permanent home for this friend in our hearts.

Bless this friendship.

Wishful Thoughts

Then there’s this set of old friends whom we knew very well but not THAT well. We know about most of their better sides. We don’t mind the hangups that we’re aware of.

Nowadays, we are comforted with maybe: We long to meet and converse again. And we procrastinate because we’re afraid that, by meeting, some of that magical idealism would break into reality. So we settle with “we’ll see” and whatifs. For the time being.

Tread carefully here.

Past Flames

And then there’s this set of friends who have burned than we bargained for. They make up the sorest of unrealized dreams. (Which was it, money or sex?) Whatever the past between us, long or brief, we can’t bear their presence without that tinge of discomfort and unnamable WHATIFs.

Nowadays, they fill our most absurd fantasies. Unredeemable no matter how much time and space have passed, we know that there is more harm than good in indulging those fantasies.

Don’t go there.

23.4.10

Apa rasanya…

…jadi Cina di Glodok, tahun ‘98?

…jadi Madura di Sampit?

…jadi beragama Kristen/Islam di Poso?

…jadi melihat keluarga sendiri disembelihi di perang Paderi?

…jadi raja Hindu yang digusur agama baru sampai ke Bali?

…tumbuh-kembang tak pernah mengetahui rasanya jadi bangsa yang tertekan? Beruntung karena selamat, apa sial karena lupa?

22.4.10

Ras

Margi pernah mengeluh di blognya tentang kecinaannya yang nanggung. Kalau di radio Elshinta, rasanya hampir tidak pernah kita mendengar istilah CINA. Biasanya diperhalus: “warga keturunan”, China (baca: cay-na), Chinese atau Tiongkok.

Mungkin padanan Saudinya adalah sebutan “Hindi” atau “Jawa”; sama perihnya seperti disebut “Cina” di Indonesia.

Tapi semua itu sih belom apa2. Bayangin orang yang asal-usulnya campur aduk: Madura, Sunda, Batak, Arab, Padang, dst. Di setiap desa homogen, orang dengan keturunan campur-aduk harus tebal muka, karena setiap sudut mukanya bisa dihina.

Itu kalau dipanggil menurut ras memang terasa menghina.

Karena bahasa (baik itu humor, ejekan maupun pujian) sangat kontekstual: tergantung siapa yang lempar-terima. Soalnya, kalau kita tersinggung dengan sebutan yang ditempelkan, baik itu berunsur SARA, IQ atau merek pakaian, yang reaksi kita mencerminkan kepercayaan diri kita sendiri.

Misalnya kita merasa terhina dengan sebutan tolol, ya artinya kita mengakui kebenaran sebutan itu. Jika merasa tersanjung saat dibilang mirip Bule atau cerdas, ya artinya identitas kita tergantung apa kata orang.

Makanya, jadilah seperti garam, dipuji atau dihina, tetap asin. Makanya peganganlah ama motto ini: Pantang dipuji, kebal dihina, bung.

Cina ya Cina. Jawa ya Jawa. Botak ya botak. Yang penting kan tetap asin.

PS: Umumnya manusia, tak sayang karena tak kenal.

16.4.10

Pencerahan, menurut siapa?

Si penggores iman pernah bilang, jin bertanduk itu kagak ada!!

Masalahnya, kalau saya bilang ke dia, "Sini deh bung, ada caranya untuk melihat jin bertanduk itu, asal sampean mau ngeliatnya. Mau?"

Keruan, orang-orang seperti dia bakalan ngetawain saya rame-rame, ngatain saya absurd & harus cepat-cepat didaftarin ke RSJ. Saya bisa (berusaha) membela diri dengan bilang, bahwa yang melihat jin bukan cuma satu dua orang saja.

Dan dengan gampang dia bisa bilang, itu namanya histeria massal!!

===Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ===

Contoh lainnya, waktu Lia Aminuddin menerima tugas nubuat, kita beramai-ramai mengatai mereka gila (oh, ya, termasuk saya). Padahal, kebanyakan anggota Salamullah yang cerdas & berwawasan luas justru mengasihani kita -- yang sok pintar dengan keyakinan kita masing2.

Saya dekat dengan salah satu anggotanya (dari sebelum dia masuk sekte itu), pernah menghadiri sidangnya di Jl.MalGajahMada, pernah cengar-cengir waktu digunjingi wartawan "Kasian deh si neng itu, cakep tapi sesat."

Seandainya lalu saya teriak2 membela diri: "Nggak kok! Saya pemeluk AgamaFulan tulen, saya di jalan yang benar!" -- yang ada hubungan saya dengan teman saya itu akan baret, dan telinga saya akan berdarah diceramahi. Haha.

===Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ===

Alkisah, Sang Buddha, waktu pulang dari meditasi yang mengantarkan pencerahan kepadanya mikir, "Beginian kagak bisa diajarin."

GusDur pun pernah bilang bahwa, agama tidak perlu dibela. Tuhan tidak butuh pembelaan. Nabi yang selama masa tugasnya dikatai gila, penipu, tukang sihir dsb, tidak butuh pembelaan kita hare gene.

Karena mau dikatai apapun, yang benar ya benar. Mau percaya atau tidak, garam akan tetap asin. Tidak butuh pembelaan atau pembuktian.

Cukup kita yang mau mencobanya sendiri atau tidak.

Cukup kita nanya sama diri sendiri: kita ini nyarinya pencerahan macam & untuk apa?

7.4.10

Kuper

Ben memperhalusnya dalam kalimat: Terlalu terpaku dalam kepala sendiri. Tidak bisa menghadapai lebih dari satu orang setiap kali pertemuan. Intinya sih sama: Kurang Pergaulan, alias KuPer.

Salam kenal, pembaca, penulis blog ini adalah manusia yang sangat kuper. Nerdy. Seperti petasan di SPBU; tidak ada yang bisa memperkirakan kapan percikannya akan menyulut kebakaran.

Makanya, semakin sadar diri (a.k.a. paranoid), semakin malas pula bergaul dengan orang asing. Apalagi untuk sekedar basa-basi. Resiko tak sebanding dengan usaha, man. Resiko untuk mempermalukan diri sendiri di depan khayalak terlalu besar dibanding tidur nyenyak tak resah: “Aku tadi salah omong apa ya?”

Terus, mau diapain cacat sosial ini?

Ada tiga pilihan:

  1. Belajar bergaul. Belajar kode-kode etik bersosial. Belajar cengar-cengir kesana-kemari.

    RESIKO: Keenakan menawan hati orang, sampai ga mau pulang ke persemedian lagi.

  2. Atau biarkan saja jadi manusia kuper. Nanti kalau udah ga bisa ditawar lagi, mau nggak mau bakalan harus belajar.

    RESIKO: Telat belajar, lebih sering ditertawakan orang sampai bisa.

  3. Pakai gimmick. "Iya, saking demam panggung sampai nyanyi di kakus aja takut didengar orang. Tapi CAKEP KAN?"

    RESIKO: Kalau lagi ga bawa gimmick mau nari hula?

Halah…Gini aja kok repot sih?

Aku senang hidup dalam kepalaku. Selama cacat sosial tersebut masih bisa diakalin dengan sembunyi terus, kenapa tidak?

Ya, ya, ada saatnya aku akan terpaksa menghadapi masyarakat. Dan saat itu terjadi, akan ada orang2 seperti Ben yang dengan penuh kasihan dan kasih sayang mengingatkan: “Tangan yang diulurkan itu untuk dijabat, Neng.”

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...