19.12.11

Laws of the Book Vs. Traditional Customs

Throughout the world the strictness of the Lex Scripta is in inverse ratio to that of custom: whenever the former is lax, the latter is stringent, and vice versa.

Thus in England, where law leaves men comparatively free, they are slaves to a grinding despotism of conventionalities, unknown in the land of tyrannical rule.

This explains why many men, accustomed to live under despotic governments, feel fettered and enslaved in the so-called free countries.

Hence, also, the reason why notably in a republic there is less private and practical liberty than under a despotism. The “Kazi al-Arab” (Judge of the Arabs) is in distinction to the Kazi al-Shara, or the Kazi of the Koran. The former is, almost always, some sharp-witted greybeard, with a minute knowledge of genealogy and precedents, a retentive memory and an eloquent tongue.

Footnote from Chapter 25: Badawin of al-Hijaz

9.12.11

5 Catatan Belajar Setelah Latihan Mendongeng Selama Seminggu Bersama @G30HM

  1. Inspirasi. Semua dongeng lahirnya dari kisah nyata, pernah terjadi "once upon a time", atau saban hari di mana-mana.
    • Hari Selasa bisa dipreteli jadi bahan sinteron semusim, setiap interaksi jadi episode yang intim.
    • Jarak antara kenyataan dengan hasil karya yang akhirnya dipublikasi: COPY-fermentasi-PASTE.
    • Seorang wartawati Saudi, pernah bilang: Semua orang menjalani adikarya hidupnya. Jika kita gagal memahaminya ya karena kita yang goblok, bukan karena perjalanan hidupnya kurang gempita.
    • Semua penulis adalah pembohong - bahkan auditor dan ilmuwan - karena semua tulisan adalah subjektif.
    • Triknya di keseimbangan antara bohong dan laporan. Jika terlalu mengarang-ngarang, cerita malah jadi renta, belum koda keburu koma. Jika terlalu garing ya kasian yang baca.
    • Kata Hemingway, bedanya dongeng dengan laporan ya pada kesabaran dan niatan.
  2. Aksi. Semakin sedikit kata sifat, semakin banyak kata kerja, semakin matang dan nyata sebuah karya cerita. - Annie Dillard.
    • Aku bisa bilang: "Ia merasa sedih lalu menangis pilu sendirian hingga rambutnya yang panjang menjadi berantakan lalu helainya dibasahi airmata." 
    • (Dengan resiko pembaca & penulis muntah bersama.)
    • Atau, nekat pitak kata sifat lalu bertemu dengan salah satu kalimat singkat yang (bagiku, sang penulis gagap) paling berkesan mantap selang belajar menulis babad selama sepekan: "Membenahi rambutnya, helainya berjatuhan."
    • (PS. Cegukan irama itu sebenarnya menyebalkan lho, tuan.)
  3. Catatan Pribadi. Aku menyukai bahasa rambut; dalam sentuhan atau kiasan, juga sebagai barometer kecentilan.
    • Setiap helai menyimpan catatan sejarah kuliner dan emosional & budaya pemiliknya.
      • Wanita Minang menggerai rambut saat kabung.
      • Wanita Jepang memotong rambut untuk menghapus masa lalu kelam.
      • Wanita botak dan berkerudung sama: bukan dengan kecentilannya ia menjangkau surga.
      • Menceritakan rahasia ini artinya aku tidak dapat menggunakannya lagi. Kampret.
  4. Kondisi. Kesengsaraan itu anugerah, Bung. Sumpah. Makin sengsara, makin bagus bahan buat cerita. Merujuk Hemingway lagi, waktu ditanya latihan apa yang paling mempan menempa penulis, katanya: "Masa kecil tidak bahagia."
  5. Kuli. Pada akhirnya, menulis itu sama saja seperti memacul atau menyapu stadion. Pada akhirnya, menulis adalah baku hantam dengan kekosongan. Mendera persendian dan pikiran. Merayu alat ketik (yang tak peduli bahwa #H5 nyaris rebah, padahal 1532 kata dalam layar semuanya sampah dan babu bahasa ini sudah lelah,) untuk membisikkan sepenggal wahyu tersamar.

Saban hari.

6.12.11

Gasing & Layangan

FEAR is an acronym in the English language for "False Evidence Appearing Real" - Neale Donald Walsch Suatu hari Kancil diajak Bekatan bermain gasing.

Bekatan datang dengan kemegahannya. Ia mengenakan topi anyaman yang diletakkan miring di kepalanya. Bulu-bulu lebat di tubuhnya tersisir cemerlang.

Gasingnya juga bagus. Terbuat dari gigi harimau, ditarik dengan tali dari kulit paus.

Bekatan memamerkan mainannya ke Kancil. Tapi tak mengizinkan Kancil untuk menyentuhnya. "Nanti kamu akan merusaknya. Kamu tak memiliki jemari halus seperti kami, bangsa kera."

Karena mainannya bagus, Kancil diam memerhatikan Bekatan bermain gasingnya yang berputar cantik. Tapi lama-lama, Kancil bosan juga. "Kamu tidak punya mainan lainnya? Sesuatu yang kita bisa mainkan bersama?"

Betapa terkejut Kancil ketika Bekatan malah marah. "Kamu terlalu banyak komentar!"

Bekatan mengumpulkan gasing dan talinya, lalu memanjat pohon paling tinggi, dan menghilang antara dahan lebat.

Kancil memandang kepergian Bekatan dengan heran. Lalu dengan marah, karena merasa telah membuang waktunya sore itu. "Jadi aku diajak ke sini untuk apa?"

Esoknya, Kancil bermain layangan di pinggir hutan. Layangan itu, juga benangnya yang kuat, adalah buatannya sendiri. Bagi Kancil, tak ada yang lebih membanggakan dari melayangkan karyanya.

Selagi asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba datang seekor rubah kecil menontonnya.

Kancil segera siaga. Seperti binatang bergigi halus lain, Kancil sangat hati-hati terhadap mahluk bergigi tajam. Ada banyak sekali cerita buruk tentang para rubah, tentang keculasan dan keangkuhan mereka. Juga tentang kebiasaan mereka mencuri makanan dan mainan. 

"Layanganmu bagus," kata Rubah, sambil memerhatikan layangan itu.
"Makasih." kata Kancil.
"Bikin sendiri ya?"
Kancil membentak, "Kamu ngapain sih nanya terus?"
"Aku hanya memuji, bodoh." Kata Rubah. Nadanya kecewa. Lalu tanpa pamit lagi, ia pergi menghilang di balik semak.

Betapa menyesalnya Kancil; ia telah bersikap persis seperti Bekatan yang kemarin juga membentaknya.

Kini Kancil mengerti mengapa Bekatan itu bersikap begitu. Ternyata sikap buruk apapun datangnya dari ketakutan. Ketakutan mainannya dirusak. Ketakutan dimakan binatang lain.

Maka Kancil pun berjanji untuk menjaga sikapnya terhadap binatang lain sampai prasangka yang menimbulkan ketakutan terbukti kebenarannya.


5.12.11

Tapi, Sehari Lagi

“When I let go of what I am, I become what I might be.” – Lao Tzu Lelaki itu jauh-jauh datang, judulnya mengantar sampai peron. Tapi... Aduh, sambil membawa "tapi" seransel.

Yang perempuan harus berangkat ke desa, tapi lupakan.
Yang lelaki akan menikah minggu depan, tapi lupakan juga.

Apapun, jadikanlah dalih untuk menunda keberangkatanmu barang semalam.
Fine. Selama sehari lagi, kita berpacaran.

Mereka ke mall. Ruang publik paling lupa akan pergantian detik dan menit. Dalam gelembung udara basi, mereka mendaur ulang ritual kekasihan.

Mereka makan dan melamun bersama. Bergandengan, menonton film yang judulnya "Alpa Berjamaah".

Tapi penjaga waktu pun butuh istirahat, dan mall hanya menguasai detik dan menit, tak lebih.

Di pelataran parkir sepi, mereka membenahi masa depan. Barang semalam.

Ke rumah?
Ya.

Rumah singgah tak menyimpan kenangan. Seperti mall, semua juga serba instan.

Tapi siapa yang butuh kenyataan jika masing-masing hafal peran?
Yang perempuan menata ranjang dan membukakan pintu.
Yang lelaki memagari kendaraan dan mengunci pintu.

Dalam gelembung persinggahan, tagihan mereka bengkak oleh penundaan, tapi rahasia mereka aman.

Kamu kenapa mencariku lagi? Bukankah kita sudah bertalak?
Aku kehilangan diriku dalam dirimu.
Nanti tumbuh lagi yang lain. Pulanglah. Subuh telah calak.

Ketika berpisah, gelembung itu bocor, lalu pecah. Kenyataan merujah, --

Yang akan ke desa, harus segera berangkat.
Yang akan menikah, harus mulai menaati adat.

Perempuan itu membenahi rambutnya, helainya berjatuhan. Tapi, belum jauh keretanya bertolak, suara lelaki itu mengejar, terhambat keraguan, menutup wasiat.

Aku mencintaimu tanpa tapi.

3.12.11

Setan untuk Siamang

“Peace comes from within. Do not seek it without.” - Buddha Setiap petang, hutan terasa sayu. Semua binatang berkumpul di tanah lapang, bersila dan memejam. Ada kerbau, kambing dan jalak. Ada ayam, babi dan rubah.

Semua tak saling menyadari keberadaan satu sama lain. Sibuk menyatukan pikiran, menunda gerak, dan mengembalikan kesadaran dalam badan.

Antara mereka ada Siamang putih berkacamata. Ia termasuk cerdas karena giat belajar, juga kaya karena giat mencari makan.

Sayangnya, dari semua murid Bante, Siamang juga yang paling nakal dan lasak. Seluruh hidupnya dilewati antara dahan dan pohon, berayun, berkelebat dan berputar. Jika tak terancam hukuman yang lebih berat, tak mungkin Siamang bakal duduk tenang.

Minggu lalu, ia memecahkan cawan Bante karena selebor dan pedar. Antrian menuju mata air terlalu panjang; karena tak sabar, ia menyelak Kura-Kura yang gilirannya membawakan air untuk Bante. Kura-kura terjungkal, cawan Bante hancur berantakan, dan semua mata melototi Siamang.

Pilihannya saat itu hanya dua: Merelakan seluruh harta dan tabungannya dibagikan ke penghuni hutan, atau bersila bersama selama sepuluh hari bersambungan.

Lebih susah mengumpulkan harta daripada teman, pikir Siamang. Maka ia memilih berdamai dengan para binatang dengan cara yang dikiranya lebih gampang.

Hari pertama sila bersama, tubuh Siamang demam dan pegal. Hari kedua hanya pegal dan hari ketiga makin berkurang. Hari keempat sampai ketujuh, ia mulai merasa bangga tubuhnya tak bergeming, dalam hujan, panas maupun kerontang.

Hari kedelapan, dalam kegelapan, Siamang merasakan gemerisik di sisinya.

Hanya Bante yang boleh bergerak saat sila bersama, maka timbul kesenangan karena gurunya memerhatikannya. Tapi betapa terkejut dirinya, ketika menyadari gurunya malah menangkringkan setan di bahunya.

Setan kecil itu buruk dan bau, kulitnya berlendir, matanya berjejer, tubuhnya bergeletar seperti ekor cicak yang baru putus.

Iiiiih, jerit Siamang dalam hati.

Jika ini hari pertamanya bersila, ia bakal melompat-lompat, menggaruk dan menjerit untuk melepaskan setan di bahunya. Tapi karena tak ingin kehilangan hartanya, ia menahan nafas dan kulitnya hanya meremang, merenyut, mengerut agar setan berlendir itu lepas tanpa menggerakkan anggota tubuh yang lain.

Suara Bante menyentaknya, "Kamu sedang apa?"

Dalam kebingungan antara rasa jijik dan senang, rasa takut dan tenang, Siamang kembali mengulang hafalannya selama seminggu berselang. Ia diam; menyatukan kesadaran dengan badan. Menerima yang diberikan, tak meminta dilebihkan.

Perlahan, setan itu melorot, ditandai dengus kecewa karena tak lagi dapat mengusik Siamang.

Di sela gemerisik jubah menjauh, Siamang mendengar, "Lihat? Begitu kamu rela, ia pulang sendiri. Tak ada yang kekal, apalagi rasa, tapi sikapmulah yang menentukan rahmat dan sengsara."

1.12.11

Rumah Kancil

Kancil senang berjalan-jalan. Sudah banyak kota, desa, negeri dan pelosok yang ia datangi, tapi ia tak juga merasa puas berjalan-jalan. Ada kepuasan tersendiri saat memulai setiap hari dengan yang baru dan luar biasa.

Aku pengelana, katanya, rumahku di mana-mana.

Suatu hari, dalam perjalan, ia bertemu dengan seorang kakek dalam kesulitan: roda gerobak sayurannya patah. Kancil kasihan dan segera mengulurkan bantuan.

Awalnya, Kancil mengira, hanya akan membantu sampai roda gerobaknya dapat berputar lagi. Nyatanya, kakek itu juga patah tulang lengannya; tak kuat mendorong gerobaknya.

Kancil semakin kasihan, maka ia mendorongkan gerobak sang kakek sampai ke rumahnya.

Sesampainya di gubuk kakek, Kancil terpana. Rumah itu berada di sisi jurang terjal, jauh dari pemukiman lain.

"Kakek tinggal di sini sendiri?"
"Ya."
"Keluarga Kakek?"
"Perang."

Kancil terdiam lagi. Ia tak tega meninggalkan kakek itu sendirian. Lagi pula masih ada hari esok untuk melanjutkan perjalanan. Jadi Kancil memutuskan untuk menginap di situ barang semalam.

Kancil terjaga dari tidurnya disentak dentang perkakas berat dan riuh semerbak kopi tumpah. Pagi belum pecah, jagat pun masih rebah. Tapi dalam temaram, Kancil melihat kakek tuan rumahnya bersimpuh di sisi tungku, memegangi tangannya.

Kancil bangkit dan membantunya membersihkan kopi yang tadi tumpah dan membuatkan lagi yang baru. Lalu ia membukakan jendela rumah, memuat dagangan dalam gerobak, menjualnya di pasar, lalu mendorongnya pulang dengan Kakek meringkuk lucu di dalamnya.

Tak banyak kata-kata antara mereka. Hati mereka dilapangkan kerja, sementara tubuh penat dengan sendirinya telah bercerita.

Keesokan harinya, Kancil terjaga begitu mendengar air dituang ke dalam ceret. Ia mengambil alih tugas pembuatan kopi pagi. Lalu hari berulang kembali seperti kemarin. Sarapan, kerja, pulang, tidur. Begitu pula esoknya. Setiap hari begitu. Untuk sementara itu.

Kadang Kancil resah, ingin kembali menjelajah. Tapi ia tak tega meninggalkan kakek dengan tangannya yang lemah.

Lagipula, untuk pertama kalinya Kancil menikmati putaran rutinitas tertata. Baginya, setiap hari adalah perjalanan dari ranjang ke ranjang lagi. Bedanya dari perjalanannya sebelumnya, ini pertama kalinya ia menikmati kemewahan tak disangka: mengetahui di mana dirinya akan tidur saat malam tiba. Maka ia menikmati saja gaya hidup yang baginya terlalu biasa.

Suatu pagi, setelah sekian lama hidup di sana, Kancil terbangun melihat kakek tua berdiri di sisi tungku, memandanginya dengan tanda tanya. Tangannya mengangkat ceret air panas dengan tangan sebelah. Dengan mata, kakek memberitahu Kancil bahwa ia sudah sembuh. Itu saja.

Kancil tersenyum. Turun dari ranjang, ia mengambil ceret air itu dari tangan kakek, lalu memulai hari mereka seperti biasa.

Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.

Sudah.


Satu lagi proyek keisengan Yaya: "Gerakan 30 Hari Menulis". Temanya minggu ini: “7 days to write fairy tale”

22.11.11

Durhaka karena Allah

Ibu,

Kemarin Missa mengadu tentang ibunya. Dia bilang, ibunya kesepian dan menyuruh Missa pulang ke desa mereka. Tapi Missa lagi kerja di negara bagian lain, dan sangat menikmati pekerjaannya itu. Kata Missa, kalau dia pulang, ibunya malah pahit & jahat mulut, karena Missa lebih mementingkan pekerjaannya, semangat hidupnya, daripada menghibur ibunya.

Mba kasihan sekali sama Missa dan ibunya. Mba bilang, ibumu ga bisa dibantu, Missa. Kesengsaraan dan kebahagiaan adalah pilihan masing-masing orang. Tante D harus cari sendiri solusi untuk kesepiannya. Karena, sebanyak apapun manusia yang ada di sekelilingnya, tidak ada yang dapat menghalau kesepian untuknya.

Mba bilang, ini yang mba lakukan ke Ibu di Jeddah: Mba diamkan.

Emang sih, kalau lagi kambuh, makin lancar jalan mba ke neraka dengan PhD(urhaka). Tapi akhirnya ibu, saking putus asa dan kesepian puoll, terpaksa cari hobi dan pekerjaan apa saja. Meskipun remeh dan kelihatannya ga penting. Seperti numpukin antik & membersihkan perangkat sirih. Yang penting kesepian itu larut.

Karena dari bekerja itu harinya ibu bergulir lebih lancar. Bukankah kerja adalah ibadah? Karena dari sibuk itu kita menghalau setan dan galau. Karena Tuhan adanya di tangan yang bekerja.

Dan, karena ga ada orang belajar lalu tambah pinter dari terus-terusan sukses dan bahagia. Kalau Missa berhenti kerja lalu pulang, itu solusi jangka pendek yang buntung. Malah bakal menambah kesengasaraan jadi dobel: sudah ibunya sengsara, ditambah Missa yang ikutan sengsara juga karena melepaskan panggilan hidup untuk mahluk lain.

Mba bilang, iya, mba ngerti Missa kuatir ibunya bakal menyumpahi dirinya masuk neraka. Terus mati dengan sumpahnya, dan Missa menyesal selamanya. Tapi bukankah itu pilihan ibunya yang sukarela mengisi hatinya dengan bahasa neraka? Tuhan tak sekonyol itu. Bukankah dengan Missa hidup sebaik-baiknya, menjalankan tugasnya di Bumi, ia sedang melanjutkan amal baik ibunya?

Ga semua perpisahan artinya kematian, juga ga semua kematian adalah perpisahan. Buktinya, kata Gusti Pangeran, mereka yang telah mati tetap hidup dalam rahmatNya. Buktinya, semua anak perempuan Ninik pergi ga balik lagi ke rumah, dan semuanya mengenang Ninik dengan haru sepanjang masa. Buktinya, Ibu & mba jauh lebih mesra di telpon daripada di rumah. Dan kita lebih mirip keluarga dengan interaksi yang sedikit-sedikit tapi penuh pengayaan, daripada yang sering-sering tapi getir basi.

Mana lebih enak, disumpahi masuk neraka dan saling pahit sampai mati, atau jauh-jauhan tapi dikangenin sampai Hari Kebangkitan nanti?

Kenapa yang begini-gini ga disebutin dalam Alkitab sebanyak cerita tentang bahayanya neraka, bu? Satu-satunya cerita yang mba hafal cuma ceritanya Saad bin Abi Waqqas sama ibunya. Gini ceritanya:

Saad masuk Islam. Ibunya ngambek. Saking ngambeknya, ngancem bunuh diri dengan tidak mau makan sampai Saad melepas kepercayaannya yang baru dan kembali ke jalan mereka yang lama.

Kata ibunya Saad, "Kalau ibu sampai mati, dosanya kamu yang nanggung. Ibu nggak kuat ndengerin omongan orang sekampung ngatain kamu segitu sintingnya hingga pindah agama, ninggalin tradisi keluarga kita turun temurun demi sekte baru yang kagak jelas gitu."

Saad anak tunggal. Pujaan sekampung, ahli memanah dan ksatria, belum lagi baktinya sepenuh hati sama ibunya. Tapi soal yang ini, dia membatu.

Katanya lembut, "Buk, ibu mau mati terus idup lagi saban hari, mau ndengering omongan orang sampai congek, mau nyumpahin sampai Saad masuk neraka bolak-balik, MONGGO. Saad masuk Islam bukan karena Ibu atau omongan orang atau karena takut masuk neraka karena jadi anak durhaka. Ada yang lebih kekal daripada itu semua, buk. Dan ga ada ciptaan yang sebanding denganNya."

Ibunya Saad ngalah sejak itu. Terus akhirnya mau makan lagi. Lalu Saad, Arjunanya Islam yang durhaka ama ibunya, disentil dalam Al-Quran, sebagai pengukuhan pilihan anak dan orangtuanya: semoga semua menjalankan tugas masing-masing di dunia karena Allah semata. Bukan karena omongan orang(tua) atau surganeraka. Tak lebih. Tak kurang.

Amin.

11.11.11

Tidur

Suatu hari Kanjeng Nabi lagi nongkrong di Madinah bersama kongkowannya. Lagi mengobrol di situ, tau-tau ada lelaki Ansar datang. Wajahnya cerah dengan air wudhu, menenteng sandalnya dengan tangan kiri, masuk ke langgar.

Kanjeng Nabi memerhatikan orang itu. Setelah beberapa lama Beliau bilang, "Orang itu ahli surga."

Besoknya, di jam yang sama, bersama kongkowan yang sama, orang Ansar itu mampir lagi. Ia menyalami Kanjeng Nabi dan setelah pulang, Kanjeng Nabi bilang lagi. "Orang itu nantinya ahli surga."

Sekali lagi, di hari berikutnya kejadian ini berulang. Orang itu datang, Kanjeng Nabi bilang dia bakal masuk surga. Dan Abdullah bin Amr bin al'As kesambat penasaran.

Sepenting apa sih nih orang sampe dijanjiin bakal masuk surga saban hari ama Kanjeng Nabi?

Di lain hadith, Kanjeng Nabi pernah bilang bahwa calon ahli Surga dan Neraka ketahuan dari sikap mereka sehari-hari. Artinya, apapun tanda-tanda yang bikin Kanjeng Nabi sampai bernubu'at bahwa orang Ansar ini bakal masuk Surga akan tampak dari kelakuannya sehari-hari itu, bukan?

Jadi Abdullah mengikuti orang ini ke rumahnya. Di rumahnya Abdullah bilang, "Saya bertengkar dengan bapak saya, mohon naungi saya dengan rumah Anda sampai reda."

Di jaman itu, lagi ngetrend antara orang-orang Ansar untuk menerima pengungsi Muhajireen di rumah mereka. Berbagi harta dan istri, apalagi menginap, itu biasa. Maka orang Ansar ini tidak heran kedatangan tamu Muhajir yang menumpangan di rumahnya,

"Ya, tentu," katanya, "Ahlan wa Sahlan. Monggo."

Selama tiga hari, Abdullah memerhatikan kelakuan tuan rumahnya. Kadang tak tidur semalaman untuk mengawasi gerak-gerikya.

Masalahnya, tuan rumahnya orang biasa banget. Manusia rata-rata. Malam tidur, siang kerja. Sembahyang malam saja tidak pernah, kecuali saat berbalik dalam tidurnya ia menyebut nama Penciptanya. Hartanya tak seberapa. Ibadahnya apalagi, sekedarnya. Yang wajib dikerjakan, yang haram dihindari, yang rese dibuang.

Udah. Nothing special, man.

Saat masa bertamunya habis, Abdullah mengaku pada orang Ansar ini tentang yang sebenarnya. Bahwa dia dan bapaknya tidak berhantam. Bahwa ia menginap di rumah itu untuk memata-matainya saking terpancing gosip. Bahwa dia masih - malah makin - penasaran, apa yang bikin Kanjeng Nabi menyebut tuan rumahnya adalah ahli Surga.

Tak disebutkan di riwayat hadith ini bagaimana reaksi orang Ansar itu setelah tahu bahwa dirinya telah dibuat Trending Topic di komunitas pengungsi dari Mekkah, apalagi bahwa dirinya ditetapkan sebagai ahli surga oleh Nabi mereka.

Mungkin karena ia memberi reaksi semeriah tembok bata.

Karena orang-orang yang ikhlas menjalani hidupnya tak bakal terlalu memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Tidak bakal bekerja dan/atau berbakti lebih giat atau malas karena memang tak kerja demi pahala atau pujian. Boro-boro mau Surga, kewajibannya saja dipenuhi sudah cukup. Tak berlebihan, tak mengarang, tapi juga tak kurang.

Seandainya orang Ansar tadi mukanya tetap rata setelah Abdullah mengaku panjang lebar, ya memang itu tampang dan perilaku manusia yang beriman: Biasa saja.

"Biasa aja deh kayaknya," katanya sambil melengos jengah(?)

"Ya, yang saya lihat juga begitu. Hidup sampean memang biasa saja. Dan itu bikin saya penasaran! Apa pentingnya diri atau gaya hidup sampean sampai Kanjeng Nabi mengomong begitu sampai tiga kali?"

Orang Ansar itu lama diam. Abdullah menyerah; ia pamit dan beranjak pulang. Dan orang Ansar itu kasihan sama Abdullah. Tak enak dilepas begitu saja. Maka ia membagi sepotong rahasia.

"Saya kalau tidur lali."

"Ha?"

"Saya kalau tidur melupakan semuanya. Tidak bawa sebal, dengki atau iri hati, kepada ciptaan maupun Pencipta."

Abdullah menatap nanar. Tidur lali, bung. Tidur yang melupakan dan melepaskan. Tidur yang sekalinya amblas dalam bantal merelakan otot, pikiran dan roh copot dari kesadaran, pasrah pada Penguasa Alam Tidur, Yang Maha Terjaga.

Ikhlas paling top. Tapi siapa yang rela? Surga dunia paling nikmat. Tapi siapa yang terima?

"Sepantasnya Kanjeng Nabi menunjukmu," kata Abdullah, tersenyum kalah. "Tidur yang lali dapat mengantarmu sampai Surga, tapi betapa berat bagi para pelupa."

6.11.11

Sangkutan

Jatuh cinta padanya membuatku linglung dan buyar konsentrasi.

Apa ini namanya? Manusia? Sangat tidak efisien untuk produksi. Mana ada manusia yang bisa kreatif dengan kebahagaiaan. Aku mestinya patah hati lagi. Bukannya sumringah-sampai-sinting begini.

Eh, tapi tak sepenuhnya sumringah kok. Kemarin, sesaat, rasanya patah hati. Karena tiba-tiba terjaga dalam kesadaran bahwa aku tidak akan memilikinya lagi. Bahwa hidupku "cuma segini", tanpanya.

"Cuma Segini" yang bikin geli. "Cuma Segini", artinya menghilang lama di gunung, menulis di kamar berbintang berlian, menemani tongkat bumi, dan menyanyi nyaring sendiri. "Cuma Segini" artinya memiliki benda. layanan dan tempat mana saja yang kumau. Ilmu, pakan, pakaian, dupa dan kretek, kopi dan kapal yang semua kelas mahal'e selangit.

Tapi bukan dirinya.

***

Kenangan-kenanganku isinya kisah-kisah terpotong. Pelukan paling erat mentok di "lepaskan". Ciuman paling dalam selesai di mantra pengunci hasrat: "sudah, cukup sekian." Dan kalimat "Aku cinta kamu setengah mati, sampai rela kujuali semua mantra dan bahasa, peri dan apapun yang sakti" hempas di "Lalu, setelah itu mau jadi apa?"

Tidak ada jalan pintas di sini.

Untuk menjuali peri, paling tidak harus yang sudah matang, agar tak rugi 30 tahun memelihara mereka. Masih harus mengurusi mereka 30 tahun lagi agar harganya sebanding. Sayang bukan? Hendak dibeli dimana itu waktu 60 tahun untuk memulai proyek baru?

Untuk melepaskan semuanya lalu memulai lagi dari awal, biar kata didampingi cinta paling sejati yang tahan cobaan lahir batin, sekalinya mati listrik atau baterai laptop habis dan aku tak lagi bisa menulis, apa artinya bahasa batin paling sejati?

Materialistis? Relatif. Realistis? Pasti.

***

Jadi begini, aku mau mencoba menawar dan negosiasi.

Ini fase berkabung kesekian dalam usahaku melepaskannya; cinta sejati apapun bentuk manusiawinya. Bukannya baru sekali ini aku telah tersangkut-saruk. Hanya saja, setiap kali melalui fase ini, bukannya semakin gampang, malah makin menyaruk begini.

Dan besok akan harus kujalani lagi dan lagi. Sampai mati atau bosan menerima dikte para peri.

Kisah-kisah terpotong itu, momok cintaku padanya, biarlah lahir-hidup-layu sendiri. Aku telah, akan dan selalu mengizinkannya memecah perhatianku setiap hari, asal pada akhirnya aku dapat menulis lagi. Kalaupun harus kuulangi tulisan ini setiap pagi, iya, boleh, asal siangnya aku dapat menghasilkan satu lagi karya asli

Maklum, selagi masih manusia, bolehlah inspirasi datang dari bawah leher dan seterusnya. Tapi juga syukur, mengusap dahi dan mengetuk kayu, karena masih menggantungkan leher ke atas pada yang tak terjangkau indera.

Aku mau itu, apa yang tak terjangkau inderaku. Maha Tak Terbatas, Cinta Sejati yang lebih kekal daripada bahasa dan farji. Seperti semua penulis, aku juga mau kekekalan, dan - sayangnya - aku kadung percaya bahwa tak ada yang lebih kekal dari jalan ini.

***

Sekarang, agar galau ini jadinya berujung dan tak luber kemana-mana, biar kututup dengan kalimat paling sakti. Bahwa aku mengakui semua ini kepadanya, biang galau dan linglungku.

Puas?

Belum?

Bagaimana jika kuceritakan bahwa segala rasa, cinta dan puisi aku ungkapkan ke dia dibalas dengan sebaris: "Kamu lagi sensi? Kenapa tulisanmu membosankan sekali?"

Lalu, setelah puas dia kulaknati, kujumput pena dan kucatati lagi diktenya para peri.

1.11.11

Hukuman

B: Gimana menulismu, sudah lancar lagi?

A: Menulis? Aku? Kapan? Aku cuma tukang pijat. Mana bisa nulis.

B: Haha! Kemarin melanggar Universal Laws?

A: Ngga. Mungkin. Ngga tau.

B: Menyerempet?

A: Iya. Sial. Berhubungan ya?

B: Bisa jadi. Waktu puasa kamu sangat produktif. Bukankah itu mendukung asumsi di atas?

A: Yah. Gimana dong?

B: Gapapa. Bersih-bersih saja dulu selama 40 hari ini. Mungkin pintu wangsitmu sedang ditutup sementara.

A: Jadi berhenti menulis dulu sampai...aduh, LAMA BETUL!

B: Ngga. Nulis saja terus. Pintu wangsit ditutup bukannya ga bisa digedor, kan?

 

A: Tapi kan banyak penulis yang bisa tetap berkarya meskipun gaya hidupnya hedo...ahm...enak.

B: Iya, perpanjangan KITAS juga bisa pakai calo. Tapi kan mahal sekali. 

 

A: Jadi kalau sekedar berpegangan pasif pada Universal Laws bisa seproduktif bulan-bulan kemarin, apa kalau lebih proaktif...Ih!

B: Ya. Menulis untuk Tuhanmu. Semesta mana yang tak akan mengangkang untukmu?

21.9.11

Guru Baru

Excellence, is not an act, but a habit. ~ Aristotle

Aku biasa latihan yoga setiap hari. Dalam kondisi biasa, bisa 51 asana berurutan selama dua jam, sambil vinyasa: menyatukan nafas dengan alir gerakan. SAMBIL PUASA.

Kemarin? Cuma sampai Suryanamaskar B tiga kali, sudah setengah mati sakit & sesaknya.

Setiap kali dapat guru baru selalu begini: Praktek ilmu baru, belajar lagi dari awal, dan sakit lagi seakan baru pertama kali mencoba yoga.

Belum lagi tadi pagi. Baru mau duduk di kasur, keburu ambruk telungkup. Seluruh badan lara melenting.

Saat sarapan aku mengeluh,

Apa kemarin mestinya tidak cari guru baru, 'Wan?

Lalu bagaimana mau berkembang? Gapapa sakit. Setiap guru memang akan berbeda ajarannya. Kumpuli semuanya. Endapi sedapatnya.

Bukannya nanti malah tambah bingung? Tambah lara?

Latihan saja dulu. Sakit & sulit hanya karena belum terbiasa. Nanti saat meresap semua dalam kebiasaan, badanmu akan memilih sendiri yang paling pas dengan kebutuhannya.

Lumayan. Bekal dari Wawung tadi pagi, mencukupi sampai Suryanamaskar B empat kali sebelum mulai sakit dan sesak.

Mungkin lusa bisa sampai lima kali. Kalau besok pagi bisa bangun tanpa ambruk lagi.

28.7.11

Sekelebat

Yaya: Wan, di ruang depan ada jerangkong?

Wawung: Heh? Oh, iya.

Yaya: Udi, Kirno, Cholis, pocong, ular, jerangkong...ajudannya Wawung laki semua, kan?

Wawung: Iya

Yaya: Lah, yang perempuan itu ngikutin siapa?

Wawung: (nyengir.) Yang perempuan di sini siapa?

Yaya: Oh. Ih!

3.7.11

Ríniel

Faith is to believe what you do not see; the reward of this faith is to see what you believe. - Saint Augustine

Karena bosan sendirian di rumah, ibu memutuskan untuk membereskan seluruh koleksi penginangannya. Kesepuluh-puluhnya. Semuanya dikumpuli dari penjuru rumah (di kamar mandi saja ada!) lalu dijejeri di meja makan. Siap disikat, dilap sampai mengkilap.

Ajudannya Ibu, Masnah, maklum bahwa ibu sedang kesepian karena anak-anaknya telah lepas landas dari sarang asal, meninggalkan Ibu sendirian dalam rumah yang kokoh tapi kebaruan yang goyah. Tanpa banyak komentar, Masnah membantu ibu memindahkan perangkat-perangkat itu ke atas meja, lalu ibu minta ditinggal sendiri.

Devil is in idle hands, and God is in movement. Jadi begitu ibu mulai kletikan, menyibukkan diri dengan sesuatu, apapun, rahmat mulai ngalir. Entah karena gosokannya ibu meghalau kesepian atau penuh cinta, tapi perlahan, sinar yang terpantul di tepak penginangannya mulai bercahaya cemerlang, seperti janji yang ditepati, cita-cita yang tercapai.

Saking terpekurnya, ibu tidak memerhatikan bahwa setiap kali combol, bekas sirih, kacip, gobek yang diletakkan kembali di atas baki ketur, tertata apik melingkar, semakin terang pula cahaya setepak sirih itu. Sepuluh kali ibu menurunkan keempat combol, bekas sirih, kacip dan gobek, buka ketur, gosok semuanya sampai mengkilap. Sepuluh kali pula ibu menata semuanya kembali seapik-apiknya.

Begitu kacip terakhir diselipkan antara combol, cahaya kesepuluh tepak sirih menyatu, menyalang teraaaang, mumbul di udara, lalu seperti layar proyektor yang baru terjaga, berkedip-kedip sebelum akhirnya stabil. Ibu sebenarnya takut – merk sabun gosoknya tidak berjanji bakal bersih sampai nyala begini - tapi warnanya cantik sekali.

Apa ada pekerjaan yang dijalani dengan dengan sukacita yang hasilnya tak cantik? Maka sambil menahan nafas, tangan ibu terjulur, menyentuh tepak terdekat.

Keluar dari katup keturnya peri kecil yang bulat dan lucu. Lengkap dengan kemben dan selendangnya yang mengambang di udara. "Halo!" katanya, "Namaku Ríniel. Ibu memanggil?"

Masih terpesona, Ibu menggeleng pelan. “Ibu ga berasa pernah manggil peri yang bulat, kuning bau kinang pulak.”

“Yah, buk, namanya juga peri penginangan, penampilan kagak bisa jauh-jauh dari bentuk combol & ketur.”

“Kenapa ga mirip kacip aja?”

Ríniel menepuk dahinya. Nasibnya sebagai peri penginangan selalu ketemu ibu-ibu rumah tangga. Ini masih belum apa-apa. Terakhir kali digosok Hartinah, yang baru dilamar, mengeluhkan repotnya bayar mas kawin calon suaminya, kang Harto. Sebelumnya, Drupadi meminta diramukan jamu untuk meringankan tugas malamnya.

Menghela nafas panjang, Ríniel membujuk Ibu, "Tapi katanya perangkat penginangan, biasanya mereka cuma dipandangi dari jauh, paling banter diusapi sekilasan sama Masnah. Ini yang punya rumah sendiri yang ngelapin! Pasti ada sesuatu!"

Dahi Ibu mengrenyit. Ada yang akrab dan hangat pada peri gendut kecil itu. Tapi apa, ibu lupa. Lagi pula, siapa juga yang mengira beli penginangan antik di internet bisa dapat bonus peri?

"Biasanya anak saya yang main sama peri. Dia pasti lebih mengerti maksudmu apa."

"Anak ibu?!" Ríniel tersedak takut, "Di mana dia?"

"Sedang tidak di sini. Adik-adiknya juga sedang tidak di sini."

"Kapan mereka kembali?"

"Masih lama."

Peri kecil itu menghela nafas lega. "Anak-anak jaman sekarang galak-galak, bu, ga ada yang senang peri penginangan, apalagi yang gendut sepertiku. Aku takut..."

Ibu menyeletuk, "Siapa suruh jadi teleto..." tapi tidak menyelesaikan kalimat. Jangan deh, bisa repot kalau rumahnya dihuni peri depresi.

Diam sesaat. Ríniel lalu melayang mendekat, mencium muka ibu, "Ibu kenapa?"

"Ibu bosen. Kesepian. Ga ada teman. Rasanya hidup ini sudah selesai. Masa ga ada lagi terusannya yang lain?"

Ríniel cekikikan. "Ada beberapa pilihan. Mau coba yang mana?"

"Eh?"

"Iya, bu, Ríniel kan peri! Bisa macem-macem. Ibu mau ganti hidupnya ibu? Ríniel bisa kasih kehidupan yang lain!"

Ibu ngangkat alis sebelah. Insting dagang langsung jalan. "Ada yang ga beres nih. Ada berapa pilihan?"

"Semaunya ibu!"

"Harganya berapa?"

"Udah ibu bayar lunas semua dengan membersihkan kesepuluh penginangan! Sekarang ibu tinggal duduk manis terus bilangin kapan Ríniel boleh mulai. Kalau ga suka pilihan yang Ríniel kasih lihat, ibu tinggal bilang stop. Terus Ríniel bikinkan lagi yang lain. Gampang kan?"

Ibu berpikir sebentar. Bisa aja peri ini belum ahli. Kalau menyangkut di suatu pilihan yang tak enak bagaimana? Atau tak bisa kembali lagi? Atau...

"Bu! Ríniel udah ngerjain ini berkali-kali! Koleksi penginangan ibu ANTIK SEMUA! Masa bertahun-tahun nongkrong di dalamnya ga bikin sihir Ríniel lebih tajam sih? Ríniel bukan peri Madura, Buk!!"

Ibu menyerah. Acaranya hari ini adalah bermain dengan peri. Sambil memangku dan mengelus-elus kucing yang memanjat ke pangkuannya, ibu melirik ke Ríniel.

Ríniel paham, ia bertepuk tangan sekali.

PILIHAN PERTAMA:

Gema tepuk tangan Ríniel membuat binar cahaya di sekelilingnya mengembang, menjadikan semuanya putih, lalu redup dengan kenyataan berbeda. Ruangan duduknya berubah. Di sekeliling tampak ibu di rumah yang besar, punya suami yang masih muda, penuh cinta dan kesetiaan. Dan karena pasangan ibu masih muda, suami Ibu masih menginginkan anak. Anak-anak yang kecil itu berisik. Tembok rumah dicoreti, porselen ibu dipecahin. Sekolahnya masih lama. Masih harus dididik, dicariin guru les, diajak jalan2 ke toko mainan. Belum lagi masa remaja...

"stop stop! ibu ga mau pilihan yang ini!! ibu udah puas ngerjain itu semua. Ibu ga perlu ngulang cerita yang udah pernah terjadi. pilihan yang lainnya ga ada?"

mata Ríniel terbelalak. "Tapi ini pilihan hidup mantannya ibu!"

"bodo amat. ganti!"

Ríniel bertepuk tangan lagi.

PILIHAN KEDUA:

Sebuah rumah kecil, sempit, penuh buku. Anak-anak lelaki ibu masih di rumah. Yang menikah bawa istrinya ke rumah. Yang belum juga masih di rumah, mempertimbangkan pacarnya. Tapi masuk umur 30, lelaki pertama berpisah dengan istrinya, berhenti kerja. Yang bungsu masih saja bertimbang, sekolahnya tak juga selesai. Keduanya minta dilayani terus. Kalau tak diberi, marah-marah, menangis, merusak barang di rumah.

ibu sampai tua kerja terus cari uang untuk mbiayain kedua anak itu. Iya, sih, mereka tak pernah bikin ibu sampai kesepian dalam empty nest, tapi, gila, tak ada istirahat, tak ada pensiun. Dan ketakutan itu setiap hari...

"STOP!!" jerit Ibu. Ibu menarik napas berkali-kali. Antara mau menangis dan marah.

"Kenapa, bu?" Tanya Ríniel pelan.

"Ini terlalu menyedihkan. Ganti. Aku maunya anak-anakku mandiri semua. Pilihan berikutnya apa?"

PILIHAN KETIGA:

Anaknya ibu mandiri semua, cerdas, penuh pengakuan masyarakat. Bakti dan solider pada ibunya. Tapi saking solidernya sama ibu, jadi penuh sia-sia pada bapaknya. Iri hati dan dengki satu sama lain, apa lagi sama orang lain. Semua keberhasilan mereka lahir dari kedengkian dan kerendahan diri, semua hasil kerja mereka untuk membalas dan menggencet siapapun yang lebih lemah dari mereka, mengejek keberhasilan siapapun yang bintangnya sedikit saja lebih cemerlang.

Ibu melengos. "Ríniel!"

"Iya, bu." Ríniel langsung bertepuk tangan lagi.

PILIHAN KEEMPAT:

Ibu sukses, tidak butuh pacar karena temanya banyak. Bebas jalan-jalan. Dapat pengakuan sepuasnya. Anak-anaknya yang cukup umur dan mandiri semua. Anak yang masih di rumah sangat manis, berbudi dan tak pernah salah ucap. Selamanya tidak akan pernah salah ucap. Selamanya akan membutuhkan ibu. Selamanya akan menatap ibu dengan pandangan cinta yang tulus karena itu yang terjadi pada anak-anak dengan down syndrome.

Kali ini tangan ibu yang bertepuk. Ríniel menyusul.

PILIHAN KELIMA:

Semua anak ibu sehat. Bisa mengurus diri sendiri atau diurus orang lain. Pacar ada, baik hati pula. Tapi lepas dari itu semua, ibu tidak bekerja. Gengsi dan umurnya tidak mengizinkan untuk kerja rendahan, tapi kebutuhan juga tak melarangnya menerima penghasilan pacarnya atau orang lain…

Di sini ibu berdiri. Marah. Merasa dipermainkan peri.

Tanpa menegur Ríniel lagi, ibu naik ke kamar sambil berseru: "Masnah! MASNAH!!! Beresin, Masnah! GA USAH DIPAJANG LAGI. Bungkus semuanya dalam kardus. Ibu ga mau liat lagi."

===========

Seminggu kemudian, ibu menjejeri lagi seluruh perangkat penginangannya di bawah tangga.

Dilapi lagi satu-satu semuanya. Sampai bersih. Sepuluh kali berulang-ulang. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya, karena baru seminggu yang lalu dibersihkan. Ríniel muncul lagi saat combol terakhir diletakkan di atas baki ketur. Masih lucu dan bulat dan bercahaya. Tapi terbang lembut dan perlahan dari sebelumnya. Ia mengambang dengan kepala dan mata tertunduk santun. 

"Kenapa semua pilihanmu menyebalkan?" Tanya ibu.

“Karena kita masih di sini, bu. Masih di bawah tangga rumah Sulaymaniyah, di Jeddah.”

"Memang kenapa?"

Peri itu tersenyum sedih, melayang, terbang ke atas, ke tingkat dua, terus ke tingkat tiga, lalu turun kembali memeluk pipi ibu.

"Anak-anak ibu belum pulang?"

"Belum." Ibu sedih lagi. Teringat kenapa tadi pagi rasanya tak tahan menahan sepi, sampai harus membongkar lagi koleksi penginangannya. Biarpun sekedar bertemu peri obesitas.

Ríniel diam, memerhatikan wajah ibu. "Ríniel punya satu lagi cerita, bu."

"Ga mau. Cerita-ceritamu menyebalkan. Terlalu realistis. Ibu maunya cerita yang happy ending."

"Tapi di bawah tangga, di rumah Sulaymaniyah, di Jeddah, ada kok cerita yang happy ending, bu."

"Fine. Apa ceritanya?"

Kali ini Ríniel hanya bertutur, tak beratraksi mistis. Suaranya pelan, hampir tak terdengar indera, tapi jelas terpatri dalam kesadaran. Ibu menutup mata dan mengosongkan pikiran agar dapat merasakan lebih jelas.

“Anak-anak ibu mandiri semua. Ibu tidak bisa yakin sepenuhnya bahwa perjalanan hidup mereka akan selalu baik, aman sentosa dan tanpa cobaan, tapi ibu yakin mereka akan bisa mengatasinya dengan cara mereka masing-masing.

“Saat rumah ibu sedang ramai, ramai sekali. Tapi kalau sedang sepi, sepi sekali. Dan lama kelamaan, ibu mulai menikmati perpindahan antara kedua situasi itu. Saat ramai, ibu ikut ketawa, cengkrama bersama mereka. Kalau sedang sepi, ibu juga lega karena bisa mengistirahatkan indera dan mengingat bahwa ini yang sejati. Ibu juga bisa main internet sepuasnya tanpa ada yang menjajah bandwidth, sepuasnya melihat-lihat belanjaan di internet. Tak ada yang berantem, tak ada yang meminta uang atau menangis-nangis sambil merusak barang. Tak ada menagih hutang, pacar yang gelendotan, atau mertua yang tak bungkam.”

Pilihan cerita yang sangat biasa. Tapi tidak apa-apa. Realita yang akrab lebih ringan diterima karena sudah biasa, berulang kali dituturkan.

Saat cerita terakhir itu selesai, Ríniel telah menghilang. Perangkat penginangan ibu masih lengkap mengkilap, tapi Ríniel sudah pulang, tinggal gemanya saja, “Semoga Ibu bahagia sebesar syukur.”

Ibu tidak perlu lagi ketemu Ríniel. Sekarang ibu tahu, Ríniel artinya "Anak yang mengingat."

20.6.11

Ruyati

"Rahmat sudah pergi dari semesta, sekarang tinggal Laknat yang tersisa. Maaf." - @Ribosa

Sebelum bertanya ke mana pembesar negara dan majikan yang tak membelanya, aku mau tahu, di mana orang tuanya waktu mereka berani minta kawin dan bikin anak tanpa kesiapan untuk memberinya penghidupan? Mana paman-paman, suami, keluarga lelaki yang katanya lebih kuat daripada perempuan? Mana guru, lurah dan kepala RT yang tak memberinya lahan untuk mencari makan di kampung sendiri? Mana tetangganya yang pamer perhiasan, baju baru dan ubin rumahnya hasil kerja di luar negri? Mana jancuk yang bisa baca tulis, yang menuliskan namanya di formulir permohonan paspor? Mana anak pintar yang tetap menunggui gajinya meskipun sudah akil-baliq, sehat wal afiat?

Nasib diciptakan dari yang kecil-kecil, yang sehari-hari. Sebelum bertanya di mana rahmat Tuhan saat dia meninggal, aku mau tahu, siapa saja yang bergilir melaknatnya selama ini?

3.6.11

Peng

Extravagance is the luxury of the poor; penury is the luxury of the rich. - Oscar Wilde
(Masih mengacu dari posting kemarin.)
Gimana caranya agar niat kita baik? Tahunya dari mana bahwa niat kita sudah baik, padahal rahasia hati milik Tuhan?
"Yang halal sudah jelas. Yang haram juga sudah jelas. Kalau bingung antara haram atau halal, lebih baik dijauhi…Karena mendekati shubhat seperti mendekati jurang; cepat atau lambat bakal terjerumus." - Kanjeng Nabi
Mungkin kita cuma bisa memantulkan tanda-tanda niat dari siklus prilaku. Mungkin maksudnya Wawung dengan “niat saat mencari duit”, juga bahasa Jawanya (baca: halusnya) bahwa yang melegalisir rejeki sebagai "halal”, adalah memandang siklus itu secara menyeluruh.
Dari metode mencari uang, meyimpan uang, mengeluarkan uang. Lalu diulang.
Hafalan
Sebelum melantur lebih jauh tentang duit, imani dulu: Rejeki tak kemana.
Tidak ada ciptaan yang mati sebelum rezekinya, sampai sen dan atom terakhir, mencapainya. Kalau sudah rezeki, biar lari sampai kemana, akan tetap mencapainya. Kalau belum rezeki, biar dikejar sampai kemana, tak akan sampai.
Itu satu. Amini dulu. Sudah?
Kedua: Setiap kali menyebut duit, maksudku bukan sekedar mata uang & berlian. Tapi semua yang material, termasuk baju, makanan, kecerdasan, kemudaan, broadband, anak, dsb. 
Masuk
Sekreatif apapun metodenya, undang-undang mencari penghidupan cuma satu: لا ضرر و لا ضرار. Jawane, jangan membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
(Itu tradisi Islamnya. Tradisi Buddhanya “Samma-Ajiva”. Tradisi Nasrani, Yesus. Tradisi logisnya: emang enak?)
Simpan
Secara dunia fana ini cobaannya sebentar-sebentar, metode proses (biar duit itu berkah bertambah; bisa bikin sejahtera, tak sekedar kenyang, apalagi jadi musibah) sama seperti metode penyimpanan makanan: begitu dibawa ke rumah, dicuci dulu sebelum masuk mulut.
Duit dicucinya dengan zakat & sedekah.
Di Islam, namanya Zakat & sedekah. Di Buddhisme, Dāna. Di Nasrani, charity. Di Undang-undang negara, pajak. Intinya sama: sabun dan mesin cucinya rezeki di tangan adalah berbagi dengan Tuhan dan manusia.
(Iseng: Tebak zakat & sedekahnya seks, suara & sahabat. Reply ke @Angsar. Hadiahnya RT. Hihi.)
Habiskan
Yang halal jelas, yang haram jelas. Yang bingung mancing kualat.
Lepas dari itu, riset membuktikan bahwa semakin mahal barang yang kita beli, semakin lancar hormon happy diproduksi otak, semakin percaya bahwa pembelian itu sebanding. (Pernah liat video tentang efek placebo?)
Makanya kalau ke mall, aku masih konflik, "masih halal ga sih beli satu lagi gadget? Kan belum punya MacJinjing!"
Wawung bilang boleh, karena lebih baik ngabisin duit di komputer jinjing daripada judi…atau judging orang. (halah)
Di lain waktu, Wawung juga pernah bilang, ngasih duit ke ajudan jangan kebanyakan. Nanti malah malas kerja, dan itu jadi dosanya kita yang ngasih tanpa perhitungan ama kemampuannya mengontrol dirinya.
Intinya ini, punya duit ga bikin hidup lebih gampang atau lebih susah dibanding yang duitnya pas-pasan. Duit itu sendiri pasif, elemen tak bego & netral. Ada banyak sekali orang yang bisa sejahtera dengan seceng-rongceng. Juga banyak sekali orang yang sengsara karena duitnya kebanyakan.
Titipan
Setekun-tekunnya kita bergulat untuk mengabadikan sesuatu, akhirnya semua akan pulang ke Pemilik Asal. Saat mengembalikan titipan, jawaban apa yang kita siapkan saat ditanya Sang Pemilik Asal: "Kau apakan saja titipanKu selama di tanganmu, bung?"
-------------
Catatan:
Peng: Duit (Bhs. Aceh prokem)
Tadinya ragu: topik ini terlalu remeh ga ya? Kebayang muka Pembaca memble, memutar mata karena merasa waktunya telah terbuang: Itu sih semua orang juga tau!! --- Iya, iya, maap. Yaya baru tahu, jadi pamer. (^..^)
Selain itu, menulis membantuku menghafal; seandainya lupa, ada saksi yang mengingatkan. Perempuan kan otaknya cuma setengah. Pfft.

1.6.11

Hiasan

Tiga sifat manusia yang merusak adalah: kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti, serta merasa puas diri . ~ Kanjeng Nabi

(Ini cerita lama. Baru mantul lagi tadi pagi, pas lagi males-malesnya orang disuruh mikir.)

Ada perempuan laporan ke Wawung. Katanya dia punya calon menantu yang tidak disenangi. Entah karena calon menantu itu preman sementara anaknya juragan atau mengapa, pokoknya sang ibu tak setuju.

Saking tak setujunya sampai rela melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke pedalaman Madura untuk mencari tukang teluh yang sihirnya dapat mematikan calon menantunya.

(Wawung cerita dengan mukanya yang paling rata, paling beku, tanpa ekspresi. Meskipun kantukku hilang blas disetrum kaget.)

Di Madura, ibu ini mengeluarkan uang jutaan. Berkali-kali. Tapi calon menantu itu tidak mati-mati juga. Karena mentok, akhirnya ke Wawung, yang kata orang kekuatan gaibnya kenceng.

Ah, masa iya? Wawung mengejek.

“Orang Madunten sihirnya pendek: melengkung, karatan, dipasang di pinggang, jaraknya sepanjang lengan. Tidak perlu duit banyak dan perjalanan jauh untuk mengaktifkannya; cukup cari Madunten lokal/Jakartaan. Dan mana ada Madunten tak nekat demi seceng-rongceng; dibayar sejuta-dua juta juga mau menanamkan celuritnya di badan lawan.”

Si Ibu bersikukuh. “Anak-anak saya juragan dan jagoan. Ayah mereka Jenderal penuh kesatriaan. Mau dibawa ke mana martabat keluarga jika dikotori darah mahluk rendahan?”

Kata Wawung, “Kalau mau dengan cara halus, ada wiridnya agar musuh menjauh. Sampean bisa kerjain sendiri. Tapi harus legowo sama Pangeran; karena wirid adalah mantra untuk melembutkan HatiNya. Mau saya ajarkan? Apa mau saya saja yang membacakan?”

(Di sini dahi Wawung berkerut. Duduknya jadi tegak. Suaranya kecewa.)

Memang betul, calon menantu itu akhirnya pergi tak kembali. Tapi semesta dan hati bersaksi. Belum Qiamat saja keburu terbukti: Bertahun-tahun kemudian keluarga itu bangkrut. Dulunya hartawan, akhirnya kapiran. Matinya melarat, boro-boro mau bermartabat.

 

Kata Wawung, Semuanya mulai dari niat. Itu selamat, tinggal jaga tabiat. Urusan Karma dan balasan, tinggal tabah lan tegar.

-------

PS. Wirid untuk menjauhkan musuh beneran ada. Aku pernah nyoba. Mempan banget; apa sih yang tak mempan kalau mintanya sama Pangeran? Dan, seperti senjata manapun, wirid tergantung niat pembacanya.

PPS. Sesama orang Madunten tidak boleh tersinggung. We looooove money.

PPPS. Sarapan ama Wawung biasanya ga bikin sekaget di atas kok. Honest!

15.2.11

Whitman

To a Certain Cantatrice

  Here, take this gift,
I was reserving it for some hero, speaker, or general,
One who should serve the good old cause, the great idea, the
progress and freedom of the race,
Some brave confronter of despots, some daring rebel;
But I see that what I was reserving belongs to you just as much as to any.


- Walt Whitman

Excerpt: On the Prophet's Birthday: Old Guards, New Guards and Rear

"The Prophet was personally troubled about the messages he received that commanded him to convert the entire world to the new faith.

When the early Muslims first fled from Mecca to Medina, Muhammad was welcomed as a peacemaker among warring tribes and faiths.

His approach was conciliatory, and all sides recognized him as a fair arbiter. Islam sees itself as a faith that is far more inclusive than exclusive.

Therefore, when Muhammad was forced to lead battles in defense of the faith, and afterwards when he turned on former Christian and Jewish allies, a dangerous rift became part of the Muslim worldview, at once aiming for universal peace and brotherhood but using violent means to get there. This will always occur as long as human nature is divided. "What we say" and "what we do" have been perpetually at odds."

- Deepak Chopra, (read the rest of article here)

(Italics and line breaks are mine)

9.2.11

Great Passions Detach Us From All Else

 

"But Love, almighty Love, seems in a moment to have removed me to a prodigious distance from every object but you alone. In the midst of crowds I remain in solitude. Nothing but you can lay hold of my mind, and that can lay hold of nothing but you. I appear transported to some foreign desert with you (oh, that I were really thus transported!), where, abundantly supplied with everything, in thee, I might live out an age of uninterrupted extasy."

- Richard Steele, "Love Letters of Great Men"

14.1.11

Mata

Saat matamu terkatup
Lepaslah kuasa sihir
Yang mengikat nafas dan syair
Dari silau yang mencekat alir

Berkediplah sesekali
Agar waktu segera beranjak
Tak terpaku memujamu
Dan bumi bergasing kembali

Berkediplah kali ini
Karena aku hendak pulang
Sebelum subuh mengguyurku
Basah kuyup mencintaimu

Oktober, 2006

12.1.11

Seleksi

Terjadi seleksi kehidupan di kebun belakang sejak Wawung sakit dan tak bisa berlama-lama menelateni tanaman kesayangannya. Sirih merah kucel, pisang abadi layu, jeruk keris kering dan dicabut. Sementara sulur sirih hijau melebat, gelombang cinta mengayun arogan…

---------

Semalam, gara-gara salah manajemen (baca: salah Yaya), tayangan acara menyangkut di TVRI Nasional. Terasa sekali sendunya. Kapan terakhir kita nonton acara TVRI? Waktu siapa saja yang masih hidup? Waktu siapa aja yang masih anak-anak?

Cuma gara-gara alat pengalih perhatian kami mati, mendadak kita berdua terperangkap dalam kenangan masa yang tak akan pernah kembali.

---------

Kebunnya beradaptasi. Antara tanaman yang mati dan yang hidup terjadi trend seleksi. Tangan AjudanOCD lebih cergas daripada tangan Wawung, tapi cintanya tetap besar. Karakter kebun belakang lebih tegar, menjauh dari kekemayuan. Yang mati ya mati, tapi yang bertahan tetap sehat dan penuh harapan karena tak tergantung perhatian setiap hari.

Tanaman maupun hati, yang tetap hidup adalah yang kuat menghalau kesepian masa yang tak akan pernah kembali.

Dan yang paling cekatan mengganti saluran televisi.

5.1.11

Wawancara Terakhir

Tadi pekerja Dhamma bilang, "Tuan dan Nyonya guru memanggilmu."

Ih. Seluruh tubuhku mengrenyit. "Dosa apalagi yang akan mereka bahas kali ini?"

"Tidak tahu. Tanyalah sendiri. Mudah-mudahan semuanya berakhir baik."

Hari terakhir retret meditasi. Seharian sejak sumpah bisu dilepas, banyak yag berkomentar soal jalan bebek mendem & kelakuan tak wajar. Seumur hidup juga begitu, dari SD sampai mampus, kelakuan yang tak wajar selalu menuntut penjelasan.

Biasanya orang tua bikin daftar dosa (seperti malaikat di bahu dan rapor di akhir semester) sebelum meluncurkan vonis atas kelakuan pengikutnya. Karena gaya jalanku seperti bebek mendem, sering ngomong sendiri dan sikukuh bisa lihat setan, guru-guru meditasi khawatir. "Kita ini lagi menangani orang gila beneran apa nggak ya?"

Mau tak mau kulitku melingkar lagi. Patah arang. Aduh, lama-lama gila beneran nih.

Nggak salah juga sih. Masyarakat butuh kewajaran. Karena yang tak wajar bisa saja berbahaya. Esentrik saja tak cukup untuk menjelaskan kelakuan aneh. Kalau cuma aneh, kan mestinya bisa dikuasai. Bisa dijelaskan logika. Bisa dirubah jadi lebih wajar.

Siapa juga mau dianggap wajar. Dikotomi manusia adalah untuk berharap dirinya dianggap spesial, unik tapi tetap maksa diterima masyarakat. Masalahnya, ada juga yang berkelakuan tak wajar karena memang tak muat di lingkup normalitas. Tak bisa basa-basi terlalu lama. Tak bisa tak ngomong sendiri. Sudahlah, tahu sendiri kan? Sudah banyak contoh manusia yang sial dengan keunikannya abnormalitasnya.

Aku mengeratkan genggaman di sekeliling kameraku. Lensa gede dan gugup diagnosa tak pernah bekerjasama dengan baik. Menarik nafas panjang, aku memelas dengan mata, "Just say it already."

"So I told my husband, let's google her," kata nyonya guru, "and we found your blog. And we found out that you're not really crazy. Everything weird about you is just the way you are. You're quite a reasonable person to start with. And we just called you here to confess that we've been reading your blog."

"Your grammar needs some help though," kata suaminya, senyumnya melebarkan senyum istrinya.

Tawaku pecah. Bukannya milih pembelaan malah bingung nyari respon yang baik untuk kesaksian: Bahwa blog kampret itu masih membalas budi penulisnya, meski telah berbulan-bulan ditelantarkan.

Nulis lagi ga ya?

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...