Lelaki itu jauh-jauh datang, judulnya mengantar sampai peron. Tapi... Aduh, sambil membawa "tapi" seransel.
Yang perempuan harus berangkat ke desa, tapi lupakan.Yang lelaki akan menikah minggu depan, tapi lupakan juga.
Apapun, jadikanlah dalih untuk menunda keberangkatanmu barang semalam.
Fine. Selama sehari lagi, kita berpacaran.
Mereka ke mall. Ruang publik paling lupa akan pergantian detik dan menit. Dalam gelembung udara basi, mereka mendaur ulang ritual kekasihan.
Mereka makan dan melamun bersama. Bergandengan, menonton film yang judulnya "Alpa Berjamaah".
Tapi penjaga waktu pun butuh istirahat, dan mall hanya menguasai detik dan menit, tak lebih.
Di pelataran parkir sepi, mereka membenahi masa depan. Barang semalam.
Ke rumah?
Ya.
Rumah singgah tak menyimpan kenangan. Seperti mall, semua juga serba instan.
Tapi siapa yang butuh kenyataan jika masing-masing hafal peran?
Yang perempuan menata ranjang dan membukakan pintu.
Yang lelaki memagari kendaraan dan mengunci pintu.
Dalam gelembung persinggahan, tagihan mereka bengkak oleh penundaan, tapi rahasia mereka aman.
Kamu kenapa mencariku lagi? Bukankah kita sudah bertalak?
Aku kehilangan diriku dalam dirimu.
Nanti tumbuh lagi yang lain. Pulanglah. Subuh telah calak.
Ketika berpisah, gelembung itu bocor, lalu pecah. Kenyataan merujah, --
Yang akan ke desa, harus segera berangkat.
Yang akan menikah, harus mulai menaati adat.
Perempuan itu membenahi rambutnya, helainya berjatuhan. Tapi, belum jauh keretanya bertolak, suara lelaki itu mengejar, terhambat keraguan, menutup wasiat.
Aku mencintaimu tanpa tapi.