11.3.13

Sekali Lagi Tentang Garam

Suatu malam, mereka bising. Setan serumah menyesaki pelupuk mata setiap memejam. Lasak sekali. Lemari digeratak, ubin diderak, jendela dikerik.

Di tengah bingar kenduri mereka, tokoh film the Ring, alias Sadako, alias Kuntilanak, merangkak ke arahku dari ruangan sebelah, siap membekap.

Aku kesal. Belum lagi ngeri. Maka empat kali, di setiap sisi, garam dimantrai dan ditebar. Bismillahi Allahu Akbar. Sisi kanan dan kiri, lalu dekat kepala dan kaki.

Lalu hening. Lalu lelap. Sampai mimpi.

9.3.13

Garam

Setelah berhari-hari merasa dikalahkan di rumah sendiri, akhirnya turun juga wangsit pengusir kutu. "Garam!"

Kalau tak salah, sepekan sebelum wangsit itu turun, tiada hari berlalu tanpa kerja bakti. Ada kalanya kerja bakti itu berupa pengosekan ubin, atau membopong perabot keluar-masuk ruangan. Ada lagi dimana kerja bakti tersebut berupa kegiatan menggaruk gatal, sepanjang lengan dan kaki, sepanjang malam.

Anehnya, kutu itu pandai memilah lokasi dan potensi. Baik Kiki maupun Annisa tidak digigit. Sementara penulis kisah nestapa ini, meskipun bentolnya ratusan sebadan, kutu itu tetap tak sampai hati menggigit di tempat-tempat sensitif seperti wajah atau selangkangan. Seakan ada yang mengomando ke mana saja kutu itu boleh mencari makan. Mungkin karena itu Injil menyebutkan salah satu azab yang melanda bangsa Mesir di zamannya Nabi Musa berupa wabah kutu. Puji tasbih dan syukur. Kutu paling kupret tetap taat pada perintah Allah.

Makanya, ketika wangsit garam itu akhirnya turun, penulis sebenarnya sudah kehabisan ide, sehingga tidak mendebat lagi. Tapi, setelah sekian malam tak tidur, sekian hari berbakti, ia juga kelelahan. Meskipun wangsit itu meledak dalam kepalanya, "garamgaramgaram", meskipun renyem menggeletar, yang dituturi hanya menghela nafas dan menggumam, "Besok."

***

Garam, di ilmu sihir, adalah unsur penyerap dan pembersih. Di serial Supernatural, garam digunakan untuk membatasi ruangan dari serangan setan. Tapi di ilmu sihir sehari-hari, garam juga dapat menyerap energi penyembuh, jadi tak boleh berlebihan. Selain itu, karena 70% struktur manusia terbuat dari air, kelebihan garam tentu mematikan.

Tapi wangsit tak menjelaskan semua itu. Wangsit tak pernah bertele-tele. Ia hanya berbunyi sepatah kata atau dua, jelas dan cergas. Lalu sisanya terserah yang bersangkutan. Wangsit juga hanya muncul saat yang membutuhkan sudah berusaha semampunya, dengan segala cara dari semua arah. Lagipula, berkat tabiat manusia yang serba ngeyel, seandainya belum sampai batas putus asa, mungkin wangsit paling sakti pun tak bakal dituruti. Mungkin. Siapa tahu.

***

Yang penulis ketahui, keesokan harinya ia membeli beberapa bungkus garam dapur. Harganya kurang dari Rp 2000 per bungkus. Sebungkus diletakkan dalam mangkuk, lalu sejumput-sejumput ditebar sekitar lawang-lawang rumah. Dengan niat memagari, setiap jumput diwiridi: Bismillahi Allahu Akbar; wirid yang dibaca saat melempar jumroh di Mina. Sebungkus lagi diisikan dalam kaus kaki, diikat jadi berupa bantal. Bantal garam itu lalu diletakkan di atas kepala penulis, lalu ia duduk meditasi.

Dibanding proses mengosek ubin, efek garam bekerja sangat cepat. Lima menit kemudian penulis merasa perutnya digigit. Ketika kausnya disingkap, ratu kutu membalas pandang. Untuk memastikan, Ratu kutu itu dipites jadi tiga bagian. Lalu disapu ke luar rumah.

***

Malamnya, Wawung mimpi melihat bala kutu saling memanggil, "Berangkat, berangkat, berangkat..." dan ratu mereka, kutu terbesar serumah, melambai dari kejauhan, menjauh dari rumah.

12.2.13

Petualangan Ibu Sebelum Ulang Tahunnya Yang Kelimapuluh-lima

Sekali, tanpa bilang-bilang sama kita, Ibu berangkat haji dan jalan kaki dari Arafah ke Muzdalifah ke Mina. Jaraknya sekitar 11 kilometer. Ini terjadi 2-3 tahun yang lalu. Jadi usianya Ibu saat itu awal-awal limapuluhan.

Kegiatan sinting itu memicu kegiatan abnormal di rumah kami yang pertama. Padahal saat itu Ibu udah menopause. Adik-adikku jungkir, aku balik. Ibu malah ga mau diapa-apain. Katanya, Ibu lebih seram ama jarum, bedah dan dokter daripada kemungkinan terburuk atau kepastian paling pasti.

Kita mati gaya dan mundur beberapa tradisi: Ibu dipencet, dielus, didoakan sebagaimana orang JawaSundaBatakMadura percaya. Sudah.

Seandainya takhayul adalah penyakit, kepercayaan terhadapnya adalah obat. Buktinya Ibu sembuh. Masih keluyuran pulak. Saat terjemahan ini ditulis sebagai kado ulangtahunnya, ga ada dari anak-anaknya yang yakin posisinya Ibu di mana: Jeddah, Mekkah apa Madinah. Masih melayani Tamu sampai sekarang.

Semoga Ibu panjang umur sampai 40 tahun lagi kalau tetap sehat, ga lebih lama kalau ga sehat. Hidup terlalu lama sebagai anak yang terbalik juga berat. Tuhan penuh rahmat.

***

Beberapa kali juga, saat usianya Ibu baru tigapuluhan, kita baru bisa jalan dan duit di rumah baru receh segenggam, Ibu ngumpulin kita di bawah meja makan. Keluarga pelayan mainnya juga seputar pelayanan. Meja makan jadi kemah, kita bertiga jadi jemaah, Ibu kepala maktab yang menyediakan makan. Sesuap Yaya, sesuap Ade, sesuap Anggi, terus mengulen kue lagi. Kue itu nantinya dijual ke orang-orang yang haji dan bukan haji, terus dari mulut mereka muncul mantra yang menyulap kue jadi seragam sekolah atau thob lebaran.

Beberapa kali juga, lebih sering daripada kami mampu mengenang, Ibu mengangkut kami dari bawah “kemah” ke ranjang. Terus Ibu lanjut mengulen sambil mengawasi jendela yang menghadap lawang depan, menantikan Babah pulang sampai larut malam. Kadang Ibu duduk dalam kesendirian mencekam, dirambati ketakutan dari jemari ke bahu, dari jari ke paha: Babah ke mana? Kenapa telat? Seandainya pintu gerbang terbuka tapi yang muncul di baliknya sesuatu selain Babah...

..Tau? Generasi sebelum telpon cerdas dan jaringan internet mampu mengingat lebih erat karena kengerian dan kebahagiaan terjadi sepenuh indera dan kesadaran. Semua dilihat, dirasakan, didengar, diucapkan, dicium langsung, bukan rembesan kesan yang disaring jaringan maupun layar selular. Jarak antara senang dan sedih hanya selawang yang terbuka atau tertutup. Pasrah pada yang ghaib dan nasib. Sekalinya terjadi, itulah yang jadi...

***

Terjadilah yang terjadi, suatu kali Ibu jadi Ninik. Dan kami Amma dan Ammi, pendongeng bagi keponakan. Dongeng tentang hal-hal sinting yang masih mungkin terjadi sebelum datangnya kepastian yang paling pasti. Selama kue masih diulen. Dan jarak hanya sepanjang jalan.

*Selamat Ulang Tahun, Ibu.

**Translating that from Arabic came out so smoothly. Ga pake mikir sama sekali. Tanpa kehilangan konteks emosional, nyaris kata per kata cuma dibalik Arab-Indonesia. Google Translate aja bisa nerjemahin kalau bisa bahasa prokem. Aku bertanya-tanya. Mungkin karena kedua bahasa ini, Indonesia dan Arab, lebih doyan mendongeng oral daripada yang satunya lagi. Atau emang penulisnya aja yang norax.

22.1.13

Yang Tak Bakal Lunas

"Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." ~ Al-Qur'an 02:261

Pernah sekali, seorang tukang pijat pergi motokopi dokumen di sebuah pasar di Jakarta. Dokumen-dokumennya dalam bahasa Arab, jadi saat membayar ongkos fotokopi (Rp 11'000), tukang fotokopinya nanya-nanya. Ujung-ujungnya, tukang pijat terpojok membela diri: "Nggak! Aku ga ngurusin perdagangan budak ke Arab." -- Sekaligus ngaku-ngaku tukang pijat sebagai pembelaan.

Ada orang-orang yang dosa mulut dan hatinya dibayar kontan dengan badan. Sekalinya salah ucap atau buruk niat, langsung kualat. Begitu tahu profesi kliennya adalah memijat, tukang fotokopi langsung curhat. Terus minta dipijat. Karena ga mau menambahkan dosa mulutnya, tukang pijat menurut sambil diam mendengarkan omelan dalam kepalanya.

"Siapa suruh juga buka mulut. Orang macam apa yang tersinggung cuma gara-gara kertas? Tukang fotokopi tadi hanya buka obrolan; itu bagian dari pekerjaan para pedagang. Bukan pekerjaanmu untuk menjual pembelaan. Seandainya tadi hanya mengangguk sopan, tak bakal kerja bakti dadakan di tengah pasar, pas tengah hari bolong."

Ketika selesai memijat pasaran ("Terima kasih, Gusti, atas pelajaran tentang kerendahan hati,") tukang pijat memohon diri. Tukang fotokopi malah menahannya lagi. Tak disangka-sangka, ia menyodorkan selembar Rp 10'000 ke tangan tukang pijat yang gelagepan menolak.

"Ini bayaranmu,” kata tukang fotokopi. “Tolong diterima. Kami juga tak ingin berhutang."

Tukang pijat terharu. "Tak ada kebaikan yang lunas. Semoga dibalas berkali-lipat. Amin."

6.1.13

Nama & Makna

Saat ruh kudus hendak dititipkan ke karyaNya yg terakhir, para ajudan berkomentar: “Tak sayang? Diberi kebebasan setitik nanti malah ingkar sebelanga.”

Gusti Pangeran bilang, Gapapa, variasi juga indah. Lalu Gusti memberinya bahasa. Kebebasan untuk memberi nama dan makna bagi karyaNya yang lain.

Maka setiap ciptaanNya menjadi mainan bagi yang memberinya nama dan makna.

Cobaan sebatas kemampuan memberi nama, sebatas wadah badan dan pikirannya. Susah atau senang sama-sama cobaan. Sama-sama sementara. Sekedar nama dan makna.

Wadah kita sempit-luas sebatas rasa syukur. Gusti Pangeran bilang, Makin bersyukur, makin ditambahin. (Ditambahin ama cobaan yang enak-enak atau yang susah-susah, Gusti ga bilang.)

Makin bersyukur, makin banter dicoba. Mungkin makin susah, mungkin juga makin enak. Tapi kalau ga bersyukur, ya kualat. Wadahnya jadi bantat. Sampai tamat.

Tapi ada yang bersyukur wadahnya meluas. Melampaui batas bahasa, tak bernama dan bias makna. Semua tak mengapa. Jalur ekspress menuju infinitum, alam bebas wadah.

Dimana asal segalanya berada, dimana semuanya akan berpulang. Singgasana Sang Pencipta.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...