12.2.13

Petualangan Ibu Sebelum Ulang Tahunnya Yang Kelimapuluh-lima

Sekali, tanpa bilang-bilang sama kita, Ibu berangkat haji dan jalan kaki dari Arafah ke Muzdalifah ke Mina. Jaraknya sekitar 11 kilometer. Ini terjadi 2-3 tahun yang lalu. Jadi usianya Ibu saat itu awal-awal limapuluhan.

Kegiatan sinting itu memicu kegiatan abnormal di rumah kami yang pertama. Padahal saat itu Ibu udah menopause. Adik-adikku jungkir, aku balik. Ibu malah ga mau diapa-apain. Katanya, Ibu lebih seram ama jarum, bedah dan dokter daripada kemungkinan terburuk atau kepastian paling pasti.

Kita mati gaya dan mundur beberapa tradisi: Ibu dipencet, dielus, didoakan sebagaimana orang JawaSundaBatakMadura percaya. Sudah.

Seandainya takhayul adalah penyakit, kepercayaan terhadapnya adalah obat. Buktinya Ibu sembuh. Masih keluyuran pulak. Saat terjemahan ini ditulis sebagai kado ulangtahunnya, ga ada dari anak-anaknya yang yakin posisinya Ibu di mana: Jeddah, Mekkah apa Madinah. Masih melayani Tamu sampai sekarang.

Semoga Ibu panjang umur sampai 40 tahun lagi kalau tetap sehat, ga lebih lama kalau ga sehat. Hidup terlalu lama sebagai anak yang terbalik juga berat. Tuhan penuh rahmat.

***

Beberapa kali juga, saat usianya Ibu baru tigapuluhan, kita baru bisa jalan dan duit di rumah baru receh segenggam, Ibu ngumpulin kita di bawah meja makan. Keluarga pelayan mainnya juga seputar pelayanan. Meja makan jadi kemah, kita bertiga jadi jemaah, Ibu kepala maktab yang menyediakan makan. Sesuap Yaya, sesuap Ade, sesuap Anggi, terus mengulen kue lagi. Kue itu nantinya dijual ke orang-orang yang haji dan bukan haji, terus dari mulut mereka muncul mantra yang menyulap kue jadi seragam sekolah atau thob lebaran.

Beberapa kali juga, lebih sering daripada kami mampu mengenang, Ibu mengangkut kami dari bawah “kemah” ke ranjang. Terus Ibu lanjut mengulen sambil mengawasi jendela yang menghadap lawang depan, menantikan Babah pulang sampai larut malam. Kadang Ibu duduk dalam kesendirian mencekam, dirambati ketakutan dari jemari ke bahu, dari jari ke paha: Babah ke mana? Kenapa telat? Seandainya pintu gerbang terbuka tapi yang muncul di baliknya sesuatu selain Babah...

..Tau? Generasi sebelum telpon cerdas dan jaringan internet mampu mengingat lebih erat karena kengerian dan kebahagiaan terjadi sepenuh indera dan kesadaran. Semua dilihat, dirasakan, didengar, diucapkan, dicium langsung, bukan rembesan kesan yang disaring jaringan maupun layar selular. Jarak antara senang dan sedih hanya selawang yang terbuka atau tertutup. Pasrah pada yang ghaib dan nasib. Sekalinya terjadi, itulah yang jadi...

***

Terjadilah yang terjadi, suatu kali Ibu jadi Ninik. Dan kami Amma dan Ammi, pendongeng bagi keponakan. Dongeng tentang hal-hal sinting yang masih mungkin terjadi sebelum datangnya kepastian yang paling pasti. Selama kue masih diulen. Dan jarak hanya sepanjang jalan.

*Selamat Ulang Tahun, Ibu.

**Translating that from Arabic came out so smoothly. Ga pake mikir sama sekali. Tanpa kehilangan konteks emosional, nyaris kata per kata cuma dibalik Arab-Indonesia. Google Translate aja bisa nerjemahin kalau bisa bahasa prokem. Aku bertanya-tanya. Mungkin karena kedua bahasa ini, Indonesia dan Arab, lebih doyan mendongeng oral daripada yang satunya lagi. Atau emang penulisnya aja yang norax.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...