22.11.11

Durhaka karena Allah

Ibu,

Kemarin Missa mengadu tentang ibunya. Dia bilang, ibunya kesepian dan menyuruh Missa pulang ke desa mereka. Tapi Missa lagi kerja di negara bagian lain, dan sangat menikmati pekerjaannya itu. Kata Missa, kalau dia pulang, ibunya malah pahit & jahat mulut, karena Missa lebih mementingkan pekerjaannya, semangat hidupnya, daripada menghibur ibunya.

Mba kasihan sekali sama Missa dan ibunya. Mba bilang, ibumu ga bisa dibantu, Missa. Kesengsaraan dan kebahagiaan adalah pilihan masing-masing orang. Tante D harus cari sendiri solusi untuk kesepiannya. Karena, sebanyak apapun manusia yang ada di sekelilingnya, tidak ada yang dapat menghalau kesepian untuknya.

Mba bilang, ini yang mba lakukan ke Ibu di Jeddah: Mba diamkan.

Emang sih, kalau lagi kambuh, makin lancar jalan mba ke neraka dengan PhD(urhaka). Tapi akhirnya ibu, saking putus asa dan kesepian puoll, terpaksa cari hobi dan pekerjaan apa saja. Meskipun remeh dan kelihatannya ga penting. Seperti numpukin antik & membersihkan perangkat sirih. Yang penting kesepian itu larut.

Karena dari bekerja itu harinya ibu bergulir lebih lancar. Bukankah kerja adalah ibadah? Karena dari sibuk itu kita menghalau setan dan galau. Karena Tuhan adanya di tangan yang bekerja.

Dan, karena ga ada orang belajar lalu tambah pinter dari terus-terusan sukses dan bahagia. Kalau Missa berhenti kerja lalu pulang, itu solusi jangka pendek yang buntung. Malah bakal menambah kesengasaraan jadi dobel: sudah ibunya sengsara, ditambah Missa yang ikutan sengsara juga karena melepaskan panggilan hidup untuk mahluk lain.

Mba bilang, iya, mba ngerti Missa kuatir ibunya bakal menyumpahi dirinya masuk neraka. Terus mati dengan sumpahnya, dan Missa menyesal selamanya. Tapi bukankah itu pilihan ibunya yang sukarela mengisi hatinya dengan bahasa neraka? Tuhan tak sekonyol itu. Bukankah dengan Missa hidup sebaik-baiknya, menjalankan tugasnya di Bumi, ia sedang melanjutkan amal baik ibunya?

Ga semua perpisahan artinya kematian, juga ga semua kematian adalah perpisahan. Buktinya, kata Gusti Pangeran, mereka yang telah mati tetap hidup dalam rahmatNya. Buktinya, semua anak perempuan Ninik pergi ga balik lagi ke rumah, dan semuanya mengenang Ninik dengan haru sepanjang masa. Buktinya, Ibu & mba jauh lebih mesra di telpon daripada di rumah. Dan kita lebih mirip keluarga dengan interaksi yang sedikit-sedikit tapi penuh pengayaan, daripada yang sering-sering tapi getir basi.

Mana lebih enak, disumpahi masuk neraka dan saling pahit sampai mati, atau jauh-jauhan tapi dikangenin sampai Hari Kebangkitan nanti?

Kenapa yang begini-gini ga disebutin dalam Alkitab sebanyak cerita tentang bahayanya neraka, bu? Satu-satunya cerita yang mba hafal cuma ceritanya Saad bin Abi Waqqas sama ibunya. Gini ceritanya:

Saad masuk Islam. Ibunya ngambek. Saking ngambeknya, ngancem bunuh diri dengan tidak mau makan sampai Saad melepas kepercayaannya yang baru dan kembali ke jalan mereka yang lama.

Kata ibunya Saad, "Kalau ibu sampai mati, dosanya kamu yang nanggung. Ibu nggak kuat ndengerin omongan orang sekampung ngatain kamu segitu sintingnya hingga pindah agama, ninggalin tradisi keluarga kita turun temurun demi sekte baru yang kagak jelas gitu."

Saad anak tunggal. Pujaan sekampung, ahli memanah dan ksatria, belum lagi baktinya sepenuh hati sama ibunya. Tapi soal yang ini, dia membatu.

Katanya lembut, "Buk, ibu mau mati terus idup lagi saban hari, mau ndengering omongan orang sampai congek, mau nyumpahin sampai Saad masuk neraka bolak-balik, MONGGO. Saad masuk Islam bukan karena Ibu atau omongan orang atau karena takut masuk neraka karena jadi anak durhaka. Ada yang lebih kekal daripada itu semua, buk. Dan ga ada ciptaan yang sebanding denganNya."

Ibunya Saad ngalah sejak itu. Terus akhirnya mau makan lagi. Lalu Saad, Arjunanya Islam yang durhaka ama ibunya, disentil dalam Al-Quran, sebagai pengukuhan pilihan anak dan orangtuanya: semoga semua menjalankan tugas masing-masing di dunia karena Allah semata. Bukan karena omongan orang(tua) atau surganeraka. Tak lebih. Tak kurang.

Amin.

11.11.11

Tidur

Suatu hari Kanjeng Nabi lagi nongkrong di Madinah bersama kongkowannya. Lagi mengobrol di situ, tau-tau ada lelaki Ansar datang. Wajahnya cerah dengan air wudhu, menenteng sandalnya dengan tangan kiri, masuk ke langgar.

Kanjeng Nabi memerhatikan orang itu. Setelah beberapa lama Beliau bilang, "Orang itu ahli surga."

Besoknya, di jam yang sama, bersama kongkowan yang sama, orang Ansar itu mampir lagi. Ia menyalami Kanjeng Nabi dan setelah pulang, Kanjeng Nabi bilang lagi. "Orang itu nantinya ahli surga."

Sekali lagi, di hari berikutnya kejadian ini berulang. Orang itu datang, Kanjeng Nabi bilang dia bakal masuk surga. Dan Abdullah bin Amr bin al'As kesambat penasaran.

Sepenting apa sih nih orang sampe dijanjiin bakal masuk surga saban hari ama Kanjeng Nabi?

Di lain hadith, Kanjeng Nabi pernah bilang bahwa calon ahli Surga dan Neraka ketahuan dari sikap mereka sehari-hari. Artinya, apapun tanda-tanda yang bikin Kanjeng Nabi sampai bernubu'at bahwa orang Ansar ini bakal masuk Surga akan tampak dari kelakuannya sehari-hari itu, bukan?

Jadi Abdullah mengikuti orang ini ke rumahnya. Di rumahnya Abdullah bilang, "Saya bertengkar dengan bapak saya, mohon naungi saya dengan rumah Anda sampai reda."

Di jaman itu, lagi ngetrend antara orang-orang Ansar untuk menerima pengungsi Muhajireen di rumah mereka. Berbagi harta dan istri, apalagi menginap, itu biasa. Maka orang Ansar ini tidak heran kedatangan tamu Muhajir yang menumpangan di rumahnya,

"Ya, tentu," katanya, "Ahlan wa Sahlan. Monggo."

Selama tiga hari, Abdullah memerhatikan kelakuan tuan rumahnya. Kadang tak tidur semalaman untuk mengawasi gerak-gerikya.

Masalahnya, tuan rumahnya orang biasa banget. Manusia rata-rata. Malam tidur, siang kerja. Sembahyang malam saja tidak pernah, kecuali saat berbalik dalam tidurnya ia menyebut nama Penciptanya. Hartanya tak seberapa. Ibadahnya apalagi, sekedarnya. Yang wajib dikerjakan, yang haram dihindari, yang rese dibuang.

Udah. Nothing special, man.

Saat masa bertamunya habis, Abdullah mengaku pada orang Ansar ini tentang yang sebenarnya. Bahwa dia dan bapaknya tidak berhantam. Bahwa ia menginap di rumah itu untuk memata-matainya saking terpancing gosip. Bahwa dia masih - malah makin - penasaran, apa yang bikin Kanjeng Nabi menyebut tuan rumahnya adalah ahli Surga.

Tak disebutkan di riwayat hadith ini bagaimana reaksi orang Ansar itu setelah tahu bahwa dirinya telah dibuat Trending Topic di komunitas pengungsi dari Mekkah, apalagi bahwa dirinya ditetapkan sebagai ahli surga oleh Nabi mereka.

Mungkin karena ia memberi reaksi semeriah tembok bata.

Karena orang-orang yang ikhlas menjalani hidupnya tak bakal terlalu memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Tidak bakal bekerja dan/atau berbakti lebih giat atau malas karena memang tak kerja demi pahala atau pujian. Boro-boro mau Surga, kewajibannya saja dipenuhi sudah cukup. Tak berlebihan, tak mengarang, tapi juga tak kurang.

Seandainya orang Ansar tadi mukanya tetap rata setelah Abdullah mengaku panjang lebar, ya memang itu tampang dan perilaku manusia yang beriman: Biasa saja.

"Biasa aja deh kayaknya," katanya sambil melengos jengah(?)

"Ya, yang saya lihat juga begitu. Hidup sampean memang biasa saja. Dan itu bikin saya penasaran! Apa pentingnya diri atau gaya hidup sampean sampai Kanjeng Nabi mengomong begitu sampai tiga kali?"

Orang Ansar itu lama diam. Abdullah menyerah; ia pamit dan beranjak pulang. Dan orang Ansar itu kasihan sama Abdullah. Tak enak dilepas begitu saja. Maka ia membagi sepotong rahasia.

"Saya kalau tidur lali."

"Ha?"

"Saya kalau tidur melupakan semuanya. Tidak bawa sebal, dengki atau iri hati, kepada ciptaan maupun Pencipta."

Abdullah menatap nanar. Tidur lali, bung. Tidur yang melupakan dan melepaskan. Tidur yang sekalinya amblas dalam bantal merelakan otot, pikiran dan roh copot dari kesadaran, pasrah pada Penguasa Alam Tidur, Yang Maha Terjaga.

Ikhlas paling top. Tapi siapa yang rela? Surga dunia paling nikmat. Tapi siapa yang terima?

"Sepantasnya Kanjeng Nabi menunjukmu," kata Abdullah, tersenyum kalah. "Tidur yang lali dapat mengantarmu sampai Surga, tapi betapa berat bagi para pelupa."

6.11.11

Sangkutan

Jatuh cinta padanya membuatku linglung dan buyar konsentrasi.

Apa ini namanya? Manusia? Sangat tidak efisien untuk produksi. Mana ada manusia yang bisa kreatif dengan kebahagaiaan. Aku mestinya patah hati lagi. Bukannya sumringah-sampai-sinting begini.

Eh, tapi tak sepenuhnya sumringah kok. Kemarin, sesaat, rasanya patah hati. Karena tiba-tiba terjaga dalam kesadaran bahwa aku tidak akan memilikinya lagi. Bahwa hidupku "cuma segini", tanpanya.

"Cuma Segini" yang bikin geli. "Cuma Segini", artinya menghilang lama di gunung, menulis di kamar berbintang berlian, menemani tongkat bumi, dan menyanyi nyaring sendiri. "Cuma Segini" artinya memiliki benda. layanan dan tempat mana saja yang kumau. Ilmu, pakan, pakaian, dupa dan kretek, kopi dan kapal yang semua kelas mahal'e selangit.

Tapi bukan dirinya.

***

Kenangan-kenanganku isinya kisah-kisah terpotong. Pelukan paling erat mentok di "lepaskan". Ciuman paling dalam selesai di mantra pengunci hasrat: "sudah, cukup sekian." Dan kalimat "Aku cinta kamu setengah mati, sampai rela kujuali semua mantra dan bahasa, peri dan apapun yang sakti" hempas di "Lalu, setelah itu mau jadi apa?"

Tidak ada jalan pintas di sini.

Untuk menjuali peri, paling tidak harus yang sudah matang, agar tak rugi 30 tahun memelihara mereka. Masih harus mengurusi mereka 30 tahun lagi agar harganya sebanding. Sayang bukan? Hendak dibeli dimana itu waktu 60 tahun untuk memulai proyek baru?

Untuk melepaskan semuanya lalu memulai lagi dari awal, biar kata didampingi cinta paling sejati yang tahan cobaan lahir batin, sekalinya mati listrik atau baterai laptop habis dan aku tak lagi bisa menulis, apa artinya bahasa batin paling sejati?

Materialistis? Relatif. Realistis? Pasti.

***

Jadi begini, aku mau mencoba menawar dan negosiasi.

Ini fase berkabung kesekian dalam usahaku melepaskannya; cinta sejati apapun bentuk manusiawinya. Bukannya baru sekali ini aku telah tersangkut-saruk. Hanya saja, setiap kali melalui fase ini, bukannya semakin gampang, malah makin menyaruk begini.

Dan besok akan harus kujalani lagi dan lagi. Sampai mati atau bosan menerima dikte para peri.

Kisah-kisah terpotong itu, momok cintaku padanya, biarlah lahir-hidup-layu sendiri. Aku telah, akan dan selalu mengizinkannya memecah perhatianku setiap hari, asal pada akhirnya aku dapat menulis lagi. Kalaupun harus kuulangi tulisan ini setiap pagi, iya, boleh, asal siangnya aku dapat menghasilkan satu lagi karya asli

Maklum, selagi masih manusia, bolehlah inspirasi datang dari bawah leher dan seterusnya. Tapi juga syukur, mengusap dahi dan mengetuk kayu, karena masih menggantungkan leher ke atas pada yang tak terjangkau indera.

Aku mau itu, apa yang tak terjangkau inderaku. Maha Tak Terbatas, Cinta Sejati yang lebih kekal daripada bahasa dan farji. Seperti semua penulis, aku juga mau kekekalan, dan - sayangnya - aku kadung percaya bahwa tak ada yang lebih kekal dari jalan ini.

***

Sekarang, agar galau ini jadinya berujung dan tak luber kemana-mana, biar kututup dengan kalimat paling sakti. Bahwa aku mengakui semua ini kepadanya, biang galau dan linglungku.

Puas?

Belum?

Bagaimana jika kuceritakan bahwa segala rasa, cinta dan puisi aku ungkapkan ke dia dibalas dengan sebaris: "Kamu lagi sensi? Kenapa tulisanmu membosankan sekali?"

Lalu, setelah puas dia kulaknati, kujumput pena dan kucatati lagi diktenya para peri.

1.11.11

Hukuman

B: Gimana menulismu, sudah lancar lagi?

A: Menulis? Aku? Kapan? Aku cuma tukang pijat. Mana bisa nulis.

B: Haha! Kemarin melanggar Universal Laws?

A: Ngga. Mungkin. Ngga tau.

B: Menyerempet?

A: Iya. Sial. Berhubungan ya?

B: Bisa jadi. Waktu puasa kamu sangat produktif. Bukankah itu mendukung asumsi di atas?

A: Yah. Gimana dong?

B: Gapapa. Bersih-bersih saja dulu selama 40 hari ini. Mungkin pintu wangsitmu sedang ditutup sementara.

A: Jadi berhenti menulis dulu sampai...aduh, LAMA BETUL!

B: Ngga. Nulis saja terus. Pintu wangsit ditutup bukannya ga bisa digedor, kan?

 

A: Tapi kan banyak penulis yang bisa tetap berkarya meskipun gaya hidupnya hedo...ahm...enak.

B: Iya, perpanjangan KITAS juga bisa pakai calo. Tapi kan mahal sekali. 

 

A: Jadi kalau sekedar berpegangan pasif pada Universal Laws bisa seproduktif bulan-bulan kemarin, apa kalau lebih proaktif...Ih!

B: Ya. Menulis untuk Tuhanmu. Semesta mana yang tak akan mengangkang untukmu?

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...