24.12.12

Peri Laut

...kilau peraknya......centilnya.....marahnya.....mahkotanya...      ...kuasanya... ...kekayaannya...

Tadi siang kami makan di warung sate. Mestinya kemarin acara ini diadakan, seandainya tak terjadi halangan. Halangan awan tebal yang berputar di atas kepala Yaya. Yaya, karena berbagai alasan, selalu menerima undangan makan dengan wajah masam karena terpaksa basa-basi berkepanjangan.

Perjalanan pulang dari restoran, mobil mengambil jalur yang jauh berputar. Mampir ke kotamadya terdekat dengan Pantai Utara, kota Tegal. Aku baru mengerti maksudnya ketika bulu kudukku meremang.

Badan dan buntutnya terentang selebar cakrawala, dari Jakarta sampai Madura. Mahkotanya menyentuh batas langit. Kilaunya perak kebiruan. Nyai Ratu Pantai Utara hadir dengan segala kemegahan.

“Wan,” kataku, “Potongannya peri-peri laut memang standarnya segitu-gitunya saja?”

Wawung tak tega menjitak di mobil orang. Jadi hanya bergumam mengiyakan.

Beberapa kali melihat peri laut, ternyata mereka memang tidak kreatif berdandan. Kurang lebih seperti gambaran seniman-seniman di atas. Termasuk yang termasyhur di seluruh muka Bumi urban: Nyai Starbucks. Jika peri Starbucks saja – yang dipetik dari budaya Norwegia – penampilannya begitu, artinya mereka semua memang tampangnya segitu-gitunya.

Paling banter, beda perhiasan dan perangkat kebesaran. Tapi pakemnya sama.

Sambil memikirkan fesyen bangsa itu, aku melihat yang di sana mengecil lalu melilit di jari manis salah satu penumpang mobil kami. Peri itu tampak nyaman. Keruan saja, empunya tidak sadar jarinya dijadikan tunggangan.

Aku melengos, pantas saja maksa makan di warung sate sejak kemarin. “Kok mau Ratu Laut jadi penglaris dagangannya orang?”

“Satenya enak,” kata peri itu centil.

“Terus, kalau sudah bosan?”

“Ya pulang. Susah amat.”

***

Sampai di rumah, aku berceloteh tapi tak panjang lebar. Pengaruh peri itu sudah mulai bekerja, hatiku ringan ketika aku menghidangkan minuman untuk tamu dan ajudan.

Kata Peri Laut, “Mau-maunya membuatkan kopi untuk tamunya Tuan Guru.”

“Diam kamu. Menyebalkan.”

“Sudahlah, ikhlasi saja. Memang rejekinya mereka dapat kopi buatanmu. Kami juga begitu. Seandainya bukan rejeki dan mereka tak berusaha sekuatnya, sesakti apapun mantra, tak akan mempan.”

“Aku bilang…”

“Jangan dibilang. Ditulis saja. Ini kado kami untukmu yang membuatkan kopi dan babu rekan kami, Peri Dongeng.”

22.12.12

Tentang Ritual Tahunan: ITAS

Siapa yang lebih patut dikasihani, penulis yang dibekap polisi apa yang segitu bebasnya sampai kehabisan topik untuk dibahas? - Kurt Vonnegut

  • Di Indonesia, selain kartu ITAS, WNA memiliki Buku Biru. Buku ini mencatat perpanjangan ITAS hanya sampai 6 kali. Setelah itu penuh dan harus keluar permanen dari Indonesia, lalu aplikasi ITAS dari awal lagi.
  • Bagi WNA yang sangat beruntung dan memiliki anggota keluarga dekat (orangtua atau suami/istri), setelah 5 kali perpanjangan ITAS, boleh mengajukan permohonan ITAP.
  • Masa berlaku ITAP adalah 5 tahun. Setelah dua kali perpanjangan ITAP, boleh memohon netralisasi untuk menjadi WNI.
  • Bagi yang menikah dengan WNI, netralisasi untuk menjadi WNI hanya memakan waktu 3 tahun.
  • Mengurus sendiri proses aplikasi dan perpanjangan selalu lebih murah dan ringkas daripada mengutus orang lain. Di lingkungan imigrasi, WNA nekat tersebut dilabeli Ybs. Label ini dapat merubah panggilan dari “Mbak” ke “Ibu sendiri?! Kok nggak kayak orang bule?!”
  • Jika dokumennya lengkap, prosesnya singkat. Terakhir kali aku perpanjangan, hanya tiga kali masuk kantor imigrasi: Serah berkas. Bayar dan Foto. Ambil berkas. Sudah.
  • Jeda antara setiap kali ke kantor imigrasi: 2-4 hari kerja.
  • Ribet/Ringkas adalah relatif. Kali sebelumnya, perpanjangan tahun 2011, sponsorku dimintai surat keterangan "Belum Menikah" dengan pengukuhan setingkat kecamatan, karena Ybs. telah melewati usia 30 dan masih disponsori orang tua.
  • Tahun ini aku ditanyai berkali-kali, "Mbak belum menikah?" - Aku bilang, berkali-kali juga, "Saya di sini menemani orangtua. Kalau saya menikah, saya tidak jadi mengurusi orang tua. Yang ada malah mengurusi mertua, anaknya mertua, cucunya mertua. Kasihan saya punya orang tua. Lagipula saya ikhlas tidak menikah. Happy, malah."
  • (Aku cenderung sinting setiap kali memikirkan ribetnya kehidupan rumah tangga di mana-mana. Tapi itu cerita untuk lain kali.)
  • Disponsori keluarga jauh lebih murah daripada disponsori perusahaan. ITAS yang disponsori keluarga biayanya kurang dari Rp 1 juta/tahun. Untuk ITAS yang disponsori perusahaan, di atas Rp 15 juta/tahun, karena adanya pajak untuk Depnaker. Per tahun 2008, biaya tersebut sebesar $100/bulan, atau $1200/tahun.
  • (Harga temen?) 
  • Aku lupa apa saja berkas yang dibutuhkan untuk ITAS yang disponsori perusahaan. Untuk ITAS yang disponsori keluarga, ini format surat Permohonan Perpanjangan ITAS yang biasanya aku pakai - sekaligus lampiran berkas yang menyertai di catatan kakinya. Jangan lupa diberi materai.
  • Waktu pertama kali memohon ITAS yang disponsori keluarga, aku dimintai akte kelahiran sponsor untuk membuktikan keIndonesiaan Beliau. Karena berkas tersebut sudah hilang, diganti dengan Ijasah SD sponsor.
  • Sekali lagi, Ribet/Ringkas adalah relatif. Setiap tahun aku semakin menikmatinya, semakin mensyukurinya. Sekedar jalan-jalan sekitar Jakarta Selatan aja sih tidak ada apa-apanya dibanding harus dideportasi jalan-jalan ke Jeddah.

Aku wanita Saudi, bung. Take a moment to understand what that means. Aku sangat menikmati fasilitas yang tersedia bagi penghuni Indonesia. Menikmati bisa jalan kaki sendiri ke warung, naik KRL ke Depok dan Bogor, dan merokok kretek seharga lokal. Udah gitu Bali deket pulak.

  • Sebelum memegang ITAS, setiap bulan aku bolak-balik KL untuk beli Visa On Arrival di Bandara Cengkareng. Pernah ditampung mantan pacarku di sana. Pernah juga, setelah menyimpan koper di locker Bandara KLIA, tidur sendirian, semalaman di kursi tunggu. Rasanya seperti terperangkap di dalam mal setelah menonton filem tengah malam. Sepi sekali. Bahkan Panggilan Penerbangan bungkam setelah pukul 10 malam. Pulangnya dapat 38 bentol besar di seluruh badan, setelah semalaman dirubung bangsat.
  • Dibanding kesusahan dan kesepian semacam itu, keliling Jakarta Selatan, tidur di rumah sendiri dan ditelpon Wawung (ditanyai kapan pulang) saban hari selama proses perpanjangan ITAS, adalah surga dunia. Gue jabanin dengan ringan hati prosedur apa saja yang harus dijalani demi dapat menetap di negara ini barang setahun, sehari lagi.
  • Buku biruku habis tahun ini.

7.12.12

Perjalanan Ceritanya Andhika

Bahwa setiap dongeng sudah ada pendengarnya, setiap tulisan sudah ada pembacanya.

Andhika tinggal di Dubai. Waktu pulang ke Jakarta, pas kebetulan aku sedang di sana. Dia mampir ke rumah, membawa oleh-oleh sebuah cerita.

Karena perinya lagi mangkel, cerita itu aku cantumkan dalam blog seadanya.

Posting Terpendek 2012!Tadi pagi aku lihat ini:

pagi yang menyenangkan

Masing-masing dari tweep di atas diikuti oleh beberapa RIBU follower. Aku tidak tahu berapa orang yang akhirnya membaca cuplikan dialog itu. Data yang kumiliki hanya mencantumkan pembaca yang masuk ke blog:

blog stats

…tidak termasuk yang membaca twitpic dari retweeter yang followernya ada beberapa ribu orang tadi.

Tapi ini semua masih belum apa-apa.

Tadi pagi aku mengulang lagi ceritanya Andhika ke Wawung. Wawung ketawa. Ceritanya dicatat.

(Wawung tulisan tangannya luthuuuuuuuu!!)

Untuk didongengi lagi ke rakyat Jatibarang saat mengaji nanti. Rakyat yang masih taat pada kyai itu nantinya akan membawa gema cerita itu dalam hatinya ke rumahnya, ke keluarganya, ke sawahnya. Untuk lebih mendekatkan Tuhannya, dan membantu menjaga kebaikan generasi berikutnya.

Untuk menambah lagi pahala pendongengnya yang pertama, Andhika R. Basha.

Amin.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...