23.9.10

Calm Despair


"There are certain periods in the life of man when Fate seems to have done her worst, and any further misfortunes which may befall are accepted with a philosophical resignation, begotten by the very severity of previous trials."



- Mystery of the Hansom Cab


21.9.10

Sendu

Pluralisme membuat semua gerakan jadi lambat.

Rasanya pluralisme memaksa jeda berpikir sebelum sempat bereaksi: kenapa ya begitu? Apa tafsirnya di Kitab-kitab? Apa tafsirnya tembus masa?

…karena ketika fakta mulai membulat, ketika faham mulai menjalar, biarpun sekilas tanpa seluruh, semuanya jadi lebih sedih. Bukan muram durja, bukan gelap indera atau ungu raung. Tapi sendu haru. Seakan pengertian datangnya hanya dari sedih yang tenang. Seperti nasihat yang diam.

Adakah nabi dan cinta agung dan raja adil yang tak sepi sendu?

Film Kehidupan

Teori Film Kehidupan

Daddy pungut pernah bilang, hidup manusia seperti filem bioskop. Kita yang menjalankan sekedar aktor pasif kehidupan masing-masing. Ga ada yang bisa dirubah. Begitu kita lahir, rol film itu udah selesai disutradarai, diproduksi, diedit, ditulis dan disegel disana-sini.

Kalau beruntung, kita bisa belajar untuk menikmati jalannya film kehidupan masing-masing. Kalau tidak, ya, sama saja. Filem itu tidak akan berubah.

=====
Contoh Kasus Film Kehidupan yang Nyangkut

Aku punya teman dari SMA. Warga negara Amerika yang untuk satu alasan maupun lainnya, nyangkut di Jeddah. Pikirkan variable kehidupannya: lelaki, warga negara Adikuasa, tapi ga bisa ambil keuntungan dari kewarganegaraannya. Ga bisa balik ke negrinya. Ga bisa menikah atau punya paspor baru. Ga bisa menyelesaikan IGCSE. Apalagi kuliah atau menekuni cita-cita. Dia seperti nggak ada di peta kewarganegaraan.

Cuma dua tahun di bawahku, tapi secara legal, profesional dan akademis nyangkut (mungkin untuk selamanya) di umur 18 tahun.

Ga kebayang berapa ratus mimpinya yang telah hinggap terus terbang ga berbekas. Ga kebayang apa rasanya jadi orang dalam posisinya. Memainkan filem kehidupan sepertinya.

Hebatnya, dia tetap baik, man. Dia tetap bakti sama orangtuanya. Dia tetap sayang sama adik-adiknya. Dia tetap sabar. Ga marah-marah. Aku ga pernah ngeliat dia kecuali dengan wajahnya yang paling hangat, paling bersahabat sama semua orang. Jangankan ngeliat mukanya, bahasa verbalnya aja halus dan sopan. Tipikal orang Amerika yang tumbuh di lingkungan berpendidikan. Cuma nyangkut di dunia yang tak mengakuinya.

Aku salut.

=======
Mungkin pilihan hidup kita cuma segitu: sekedar memilih untuk mau terima apa tidak.

Kalau mau terima, ya mungkin kerut-kerut di wajah akan berkurang, cahaya kehidupan lebih terang, dan orang lain akan lebih sayang. Sampai mati, orang-orang seperti temanku akan selalu dicintai orang. Bukan karena dia sukses atau gagal, bukan karena dia WNA atau PhD. Atau makna film hidupnya dapat kita mengerti.

Kalau tidak mau terima juga bisa, silahkan jegal kanan-kiri, silahkan menuntut yang lebih baik, sampai akhirnya kembali menyadari, Tuhan kita ga bisa diganti, dan kalimatNya adalah Yang Terjadi.

Dari mana kita tahu bahwa kehidupan yang kita jalani sekarang ini berupa keberhasilan atau kegagalan? Bagaimana kita tahu bahwa filem kehidupan emang semestinya begini atau begitu?

Karena, pada akhirnya, mungkin perjuangan hidup kita semua adalah menerima apa yang sudah pasti. Berani mengiyakan pertanyaan ini: "Masak cuma segini?"

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...