Pluralisme membuat semua gerakan jadi lambat.
Rasanya pluralisme memaksa jeda berpikir sebelum sempat bereaksi: kenapa ya begitu? Apa tafsirnya di Kitab-kitab? Apa tafsirnya tembus masa?
…karena ketika fakta mulai membulat, ketika faham mulai menjalar, biarpun sekilas tanpa seluruh, semuanya jadi lebih sedih. Bukan muram durja, bukan gelap indera atau ungu raung. Tapi sendu haru. Seakan pengertian datangnya hanya dari sedih yang tenang. Seperti nasihat yang diam.
Adakah nabi dan cinta agung dan raja adil yang tak sepi sendu?