1.12.11

Rumah Kancil

Kancil senang berjalan-jalan. Sudah banyak kota, desa, negeri dan pelosok yang ia datangi, tapi ia tak juga merasa puas berjalan-jalan. Ada kepuasan tersendiri saat memulai setiap hari dengan yang baru dan luar biasa.

Aku pengelana, katanya, rumahku di mana-mana.

Suatu hari, dalam perjalan, ia bertemu dengan seorang kakek dalam kesulitan: roda gerobak sayurannya patah. Kancil kasihan dan segera mengulurkan bantuan.

Awalnya, Kancil mengira, hanya akan membantu sampai roda gerobaknya dapat berputar lagi. Nyatanya, kakek itu juga patah tulang lengannya; tak kuat mendorong gerobaknya.

Kancil semakin kasihan, maka ia mendorongkan gerobak sang kakek sampai ke rumahnya.

Sesampainya di gubuk kakek, Kancil terpana. Rumah itu berada di sisi jurang terjal, jauh dari pemukiman lain.

"Kakek tinggal di sini sendiri?"
"Ya."
"Keluarga Kakek?"
"Perang."

Kancil terdiam lagi. Ia tak tega meninggalkan kakek itu sendirian. Lagi pula masih ada hari esok untuk melanjutkan perjalanan. Jadi Kancil memutuskan untuk menginap di situ barang semalam.

Kancil terjaga dari tidurnya disentak dentang perkakas berat dan riuh semerbak kopi tumpah. Pagi belum pecah, jagat pun masih rebah. Tapi dalam temaram, Kancil melihat kakek tuan rumahnya bersimpuh di sisi tungku, memegangi tangannya.

Kancil bangkit dan membantunya membersihkan kopi yang tadi tumpah dan membuatkan lagi yang baru. Lalu ia membukakan jendela rumah, memuat dagangan dalam gerobak, menjualnya di pasar, lalu mendorongnya pulang dengan Kakek meringkuk lucu di dalamnya.

Tak banyak kata-kata antara mereka. Hati mereka dilapangkan kerja, sementara tubuh penat dengan sendirinya telah bercerita.

Keesokan harinya, Kancil terjaga begitu mendengar air dituang ke dalam ceret. Ia mengambil alih tugas pembuatan kopi pagi. Lalu hari berulang kembali seperti kemarin. Sarapan, kerja, pulang, tidur. Begitu pula esoknya. Setiap hari begitu. Untuk sementara itu.

Kadang Kancil resah, ingin kembali menjelajah. Tapi ia tak tega meninggalkan kakek dengan tangannya yang lemah.

Lagipula, untuk pertama kalinya Kancil menikmati putaran rutinitas tertata. Baginya, setiap hari adalah perjalanan dari ranjang ke ranjang lagi. Bedanya dari perjalanannya sebelumnya, ini pertama kalinya ia menikmati kemewahan tak disangka: mengetahui di mana dirinya akan tidur saat malam tiba. Maka ia menikmati saja gaya hidup yang baginya terlalu biasa.

Suatu pagi, setelah sekian lama hidup di sana, Kancil terbangun melihat kakek tua berdiri di sisi tungku, memandanginya dengan tanda tanya. Tangannya mengangkat ceret air panas dengan tangan sebelah. Dengan mata, kakek memberitahu Kancil bahwa ia sudah sembuh. Itu saja.

Kancil tersenyum. Turun dari ranjang, ia mengambil ceret air itu dari tangan kakek, lalu memulai hari mereka seperti biasa.

Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.

Sudah.


Satu lagi proyek keisengan Yaya: "Gerakan 30 Hari Menulis". Temanya minggu ini: “7 days to write fairy tale”

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...