Jatuh cinta padanya membuatku linglung dan buyar konsentrasi.
Apa ini namanya? Manusia? Sangat tidak efisien untuk produksi. Mana ada manusia yang bisa kreatif dengan kebahagaiaan. Aku mestinya patah hati lagi. Bukannya sumringah-sampai-sinting begini.
Eh, tapi tak sepenuhnya sumringah kok. Kemarin, sesaat, rasanya patah hati. Karena tiba-tiba terjaga dalam kesadaran bahwa aku tidak akan memilikinya lagi. Bahwa hidupku "cuma segini", tanpanya.
"Cuma Segini" yang bikin geli. "Cuma Segini", artinya menghilang lama di gunung, menulis di kamar berbintang berlian, menemani tongkat bumi, dan menyanyi nyaring sendiri. "Cuma Segini" artinya memiliki benda. layanan dan tempat mana saja yang kumau. Ilmu, pakan, pakaian, dupa dan kretek, kopi dan kapal yang semua kelas mahal'e selangit.
Tapi bukan dirinya.
***
Kenangan-kenanganku isinya kisah-kisah terpotong. Pelukan paling erat mentok di "lepaskan". Ciuman paling dalam selesai di mantra pengunci hasrat: "sudah, cukup sekian." Dan kalimat "Aku cinta kamu setengah mati, sampai rela kujuali semua mantra dan bahasa, peri dan apapun yang sakti" hempas di "Lalu, setelah itu mau jadi apa?"
Tidak ada jalan pintas di sini.
Untuk menjuali peri, paling tidak harus yang sudah matang, agar tak rugi 30 tahun memelihara mereka. Masih harus mengurusi mereka 30 tahun lagi agar harganya sebanding. Sayang bukan? Hendak dibeli dimana itu waktu 60 tahun untuk memulai proyek baru?
Untuk melepaskan semuanya lalu memulai lagi dari awal, biar kata didampingi cinta paling sejati yang tahan cobaan lahir batin, sekalinya mati listrik atau baterai laptop habis dan aku tak lagi bisa menulis, apa artinya bahasa batin paling sejati?
Materialistis? Relatif. Realistis? Pasti.
***
Jadi begini, aku mau mencoba menawar dan negosiasi.
Ini fase berkabung kesekian dalam usahaku melepaskannya; cinta sejati apapun bentuk manusiawinya. Bukannya baru sekali ini aku telah tersangkut-saruk. Hanya saja, setiap kali melalui fase ini, bukannya semakin gampang, malah makin menyaruk begini.
Dan besok akan harus kujalani lagi dan lagi. Sampai mati atau bosan menerima dikte para peri.
Kisah-kisah terpotong itu, momok cintaku padanya, biarlah lahir-hidup-layu sendiri. Aku telah, akan dan selalu mengizinkannya memecah perhatianku setiap hari, asal pada akhirnya aku dapat menulis lagi. Kalaupun harus kuulangi tulisan ini setiap pagi, iya, boleh, asal siangnya aku dapat menghasilkan satu lagi karya asli
Maklum, selagi masih manusia, bolehlah inspirasi datang dari bawah leher dan seterusnya. Tapi juga syukur, mengusap dahi dan mengetuk kayu, karena masih menggantungkan leher ke atas pada yang tak terjangkau indera.
Aku mau itu, apa yang tak terjangkau inderaku. Maha Tak Terbatas, Cinta Sejati yang lebih kekal daripada bahasa dan farji. Seperti semua penulis, aku juga mau kekekalan, dan - sayangnya - aku kadung percaya bahwa tak ada yang lebih kekal dari jalan ini.
***
Sekarang, agar galau ini jadinya berujung dan tak luber kemana-mana, biar kututup dengan kalimat paling sakti. Bahwa aku mengakui semua ini kepadanya, biang galau dan linglungku.
Puas?
Belum?
Bagaimana jika kuceritakan bahwa segala rasa, cinta dan puisi aku ungkapkan ke dia dibalas dengan sebaris: "Kamu lagi sensi? Kenapa tulisanmu membosankan sekali?"
Lalu, setelah puas dia kulaknati, kujumput pena dan kucatati lagi diktenya para peri.