Tadi pagi Wawung cerita tentang ibu tiri yang membesarkannya.
Ibu kandung Wawung meninggal saat Wawung masih anak-anak. Ayahnya menikah lagi dengan, yang dibahasakan Wawung, Ibunya Ila. Ceritanya Wawung tentang malam meninggalnya Ibunya Ila membuatku terharu.
"Nangis ga, Wan?"
"Nggak."
Aku ketawa. Gimana mau nangis, wong saat memangku jasad Ibunya Ila, Ibunya Ila juga di situ memandanginya.
Pada dasarnya, semua orang bisa melihat setan dan arwah. Semua orang punya perangkat teknologi sel saraf yang mampu menembus alam sebelah. Teknologi saraf ini mungkin berbeda manifestasi. Ada yang manifestasinya dalam bentuk telepati, mimpi tanda, firasat, lihat setan.
Kalau alam ini saja dapat dirasakan, dimengerti dan dijelajahi dengan segala persyaratannya, apalagi alam sebelah yang telah ada sejak sebelum lahir? Segampang memejamkan mata.
Seperti semua ilmu dan keahlian, yang membuatnya tetap tajam adalah dengan tetap mengasahnya, mengamalkannya. Umumnya, karena didera pendidikan formal dan kebutuhan terhadap logika, indera ini lama terbengkalai. Jadi aus. Lalu terlupakan.
Sampai suatu saat kepepet (dan semua orang pasti bakal, suatu saat, kepepet sesak) menghadapi yang kasat mata, lalu meracau ke area luar-logika, area yang telah asing, area yang dulu ditingalkan karena sepi gengsi dan terbelakang, untuk dihiburi apa saja yang terasa menyenangkan.
Yang tak biasa selalu terpental, ‘kan?
Mungkin yang sial adalah orang yang tak kuat menghadapi manifestasi inderanya, lalu didera diagnosa kering dan aji-aji penumpul indera. Atau berlanjut dalam bentuk perilaku onar. Tapi yang beruntung juga bukan orang yang kuat dari sananya untuk menghadapi manifestasi indera, apalagi yang manifestasi inderanya terbuka dari semua jendela dan pintunya.
Yang beruntung yang diberi waktu untuk terbiasa secara perlahan dengan semua yang dimanifestasikan indera, baik yang halus maupun yang kasat mata. Lalu yang terbiasa bersyukur atas cinta semesta kepadanya, sampai-sampai sadar saat dikirimi guru pada setiap jendela dan pintu yang terbuka.
Beruntunglah dia yang menyadari kehadiran itu, dalam bentuk nasihat terselubung pada setiap pertemuan, baik dengan teman, kitab ataupun deduksi twiterriyyah. Beruntunglah dia yang menyadari adanya kehadiran yang membantunya memaknai, memasrahi dan mengamalkan apa yang telah tertera menjadi bagiannya dalam Kitab Takdir.
Sedikit demi sedikit. Sebatas syukur mengiringi kemampuan .