Suatu hari Kanjeng Nabi lagi nongkrong di Madinah bersama kongkowannya. Lagi mengobrol di situ, tau-tau ada lelaki Ansar datang. Wajahnya cerah dengan air wudhu, menenteng sandalnya dengan tangan kiri, masuk ke langgar.
Kanjeng Nabi memerhatikan orang itu. Setelah beberapa lama Beliau bilang, "Orang itu ahli surga."
Besoknya, di jam yang sama, bersama kongkowan yang sama, orang Ansar itu mampir lagi. Ia menyalami Kanjeng Nabi dan setelah pulang, Kanjeng Nabi bilang lagi. "Orang itu nantinya ahli surga."
Sekali lagi, di hari berikutnya kejadian ini berulang. Orang itu datang, Kanjeng Nabi bilang dia bakal masuk surga. Dan Abdullah bin Amr bin al'As kesambat penasaran.
Sepenting apa sih nih orang sampe dijanjiin bakal masuk surga saban hari ama Kanjeng Nabi?
Di lain hadith, Kanjeng Nabi pernah bilang bahwa calon ahli Surga dan Neraka ketahuan dari sikap mereka sehari-hari. Artinya, apapun tanda-tanda yang bikin Kanjeng Nabi sampai bernubu'at bahwa orang Ansar ini bakal masuk Surga akan tampak dari kelakuannya sehari-hari itu, bukan?
Jadi Abdullah mengikuti orang ini ke rumahnya. Di rumahnya Abdullah bilang, "Saya bertengkar dengan bapak saya, mohon naungi saya dengan rumah Anda sampai reda."
Di jaman itu, lagi ngetrend antara orang-orang Ansar untuk menerima pengungsi Muhajireen di rumah mereka. Berbagi harta dan istri, apalagi menginap, itu biasa. Maka orang Ansar ini tidak heran kedatangan tamu Muhajir yang menumpangan di rumahnya,
"Ya, tentu," katanya, "Ahlan wa Sahlan. Monggo."
Selama tiga hari, Abdullah memerhatikan kelakuan tuan rumahnya. Kadang tak tidur semalaman untuk mengawasi gerak-gerikya.
Masalahnya, tuan rumahnya orang biasa banget. Manusia rata-rata. Malam tidur, siang kerja. Sembahyang malam saja tidak pernah, kecuali saat berbalik dalam tidurnya ia menyebut nama Penciptanya. Hartanya tak seberapa. Ibadahnya apalagi, sekedarnya. Yang wajib dikerjakan, yang haram dihindari, yang rese dibuang.
Udah. Nothing special, man.
Saat masa bertamunya habis, Abdullah mengaku pada orang Ansar ini tentang yang sebenarnya. Bahwa dia dan bapaknya tidak berhantam. Bahwa ia menginap di rumah itu untuk memata-matainya saking terpancing gosip. Bahwa dia masih - malah makin - penasaran, apa yang bikin Kanjeng Nabi menyebut tuan rumahnya adalah ahli Surga.
Tak disebutkan di riwayat hadith ini bagaimana reaksi orang Ansar itu setelah tahu bahwa dirinya telah dibuat Trending Topic di komunitas pengungsi dari Mekkah, apalagi bahwa dirinya ditetapkan sebagai ahli surga oleh Nabi mereka.
Mungkin karena ia memberi reaksi semeriah tembok bata.
Karena orang-orang yang ikhlas menjalani hidupnya tak bakal terlalu memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Tidak bakal bekerja dan/atau berbakti lebih giat atau malas karena memang tak kerja demi pahala atau pujian. Boro-boro mau Surga, kewajibannya saja dipenuhi sudah cukup. Tak berlebihan, tak mengarang, tapi juga tak kurang.
Seandainya orang Ansar tadi mukanya tetap rata setelah Abdullah mengaku panjang lebar, ya memang itu tampang dan perilaku manusia yang beriman: Biasa saja.
"Biasa aja deh kayaknya," katanya sambil melengos jengah(?)
"Ya, yang saya lihat juga begitu. Hidup sampean memang biasa saja. Dan itu bikin saya penasaran! Apa pentingnya diri atau gaya hidup sampean sampai Kanjeng Nabi mengomong begitu sampai tiga kali?"
Orang Ansar itu lama diam. Abdullah menyerah; ia pamit dan beranjak pulang. Dan orang Ansar itu kasihan sama Abdullah. Tak enak dilepas begitu saja. Maka ia membagi sepotong rahasia.
"Saya kalau tidur lali."
"Ha?"
"Saya kalau tidur melupakan semuanya. Tidak bawa sebal, dengki atau iri hati, kepada ciptaan maupun Pencipta."
Abdullah menatap nanar. Tidur lali, bung. Tidur yang melupakan dan melepaskan. Tidur yang sekalinya amblas dalam bantal merelakan otot, pikiran dan roh copot dari kesadaran, pasrah pada Penguasa Alam Tidur, Yang Maha Terjaga.
Ikhlas paling top. Tapi siapa yang rela? Surga dunia paling nikmat. Tapi siapa yang terima?
"Sepantasnya Kanjeng Nabi menunjukmu," kata Abdullah, tersenyum kalah. "Tidur yang lali dapat mengantarmu sampai Surga, tapi betapa berat bagi para pelupa."