3.12.11

Setan untuk Siamang

“Peace comes from within. Do not seek it without.” - Buddha Setiap petang, hutan terasa sayu. Semua binatang berkumpul di tanah lapang, bersila dan memejam. Ada kerbau, kambing dan jalak. Ada ayam, babi dan rubah.

Semua tak saling menyadari keberadaan satu sama lain. Sibuk menyatukan pikiran, menunda gerak, dan mengembalikan kesadaran dalam badan.

Antara mereka ada Siamang putih berkacamata. Ia termasuk cerdas karena giat belajar, juga kaya karena giat mencari makan.

Sayangnya, dari semua murid Bante, Siamang juga yang paling nakal dan lasak. Seluruh hidupnya dilewati antara dahan dan pohon, berayun, berkelebat dan berputar. Jika tak terancam hukuman yang lebih berat, tak mungkin Siamang bakal duduk tenang.

Minggu lalu, ia memecahkan cawan Bante karena selebor dan pedar. Antrian menuju mata air terlalu panjang; karena tak sabar, ia menyelak Kura-Kura yang gilirannya membawakan air untuk Bante. Kura-kura terjungkal, cawan Bante hancur berantakan, dan semua mata melototi Siamang.

Pilihannya saat itu hanya dua: Merelakan seluruh harta dan tabungannya dibagikan ke penghuni hutan, atau bersila bersama selama sepuluh hari bersambungan.

Lebih susah mengumpulkan harta daripada teman, pikir Siamang. Maka ia memilih berdamai dengan para binatang dengan cara yang dikiranya lebih gampang.

Hari pertama sila bersama, tubuh Siamang demam dan pegal. Hari kedua hanya pegal dan hari ketiga makin berkurang. Hari keempat sampai ketujuh, ia mulai merasa bangga tubuhnya tak bergeming, dalam hujan, panas maupun kerontang.

Hari kedelapan, dalam kegelapan, Siamang merasakan gemerisik di sisinya.

Hanya Bante yang boleh bergerak saat sila bersama, maka timbul kesenangan karena gurunya memerhatikannya. Tapi betapa terkejut dirinya, ketika menyadari gurunya malah menangkringkan setan di bahunya.

Setan kecil itu buruk dan bau, kulitnya berlendir, matanya berjejer, tubuhnya bergeletar seperti ekor cicak yang baru putus.

Iiiiih, jerit Siamang dalam hati.

Jika ini hari pertamanya bersila, ia bakal melompat-lompat, menggaruk dan menjerit untuk melepaskan setan di bahunya. Tapi karena tak ingin kehilangan hartanya, ia menahan nafas dan kulitnya hanya meremang, merenyut, mengerut agar setan berlendir itu lepas tanpa menggerakkan anggota tubuh yang lain.

Suara Bante menyentaknya, "Kamu sedang apa?"

Dalam kebingungan antara rasa jijik dan senang, rasa takut dan tenang, Siamang kembali mengulang hafalannya selama seminggu berselang. Ia diam; menyatukan kesadaran dengan badan. Menerima yang diberikan, tak meminta dilebihkan.

Perlahan, setan itu melorot, ditandai dengus kecewa karena tak lagi dapat mengusik Siamang.

Di sela gemerisik jubah menjauh, Siamang mendengar, "Lihat? Begitu kamu rela, ia pulang sendiri. Tak ada yang kekal, apalagi rasa, tapi sikapmulah yang menentukan rahmat dan sengsara."

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...