19.12.11

Laws of the Book Vs. Traditional Customs

Throughout the world the strictness of the Lex Scripta is in inverse ratio to that of custom: whenever the former is lax, the latter is stringent, and vice versa.

Thus in England, where law leaves men comparatively free, they are slaves to a grinding despotism of conventionalities, unknown in the land of tyrannical rule.

This explains why many men, accustomed to live under despotic governments, feel fettered and enslaved in the so-called free countries.

Hence, also, the reason why notably in a republic there is less private and practical liberty than under a despotism. The “Kazi al-Arab” (Judge of the Arabs) is in distinction to the Kazi al-Shara, or the Kazi of the Koran. The former is, almost always, some sharp-witted greybeard, with a minute knowledge of genealogy and precedents, a retentive memory and an eloquent tongue.

Footnote from Chapter 25: Badawin of al-Hijaz

9.12.11

5 Catatan Belajar Setelah Latihan Mendongeng Selama Seminggu Bersama @G30HM

  1. Inspirasi. Semua dongeng lahirnya dari kisah nyata, pernah terjadi "once upon a time", atau saban hari di mana-mana.
    • Hari Selasa bisa dipreteli jadi bahan sinteron semusim, setiap interaksi jadi episode yang intim.
    • Jarak antara kenyataan dengan hasil karya yang akhirnya dipublikasi: COPY-fermentasi-PASTE.
    • Seorang wartawati Saudi, pernah bilang: Semua orang menjalani adikarya hidupnya. Jika kita gagal memahaminya ya karena kita yang goblok, bukan karena perjalanan hidupnya kurang gempita.
    • Semua penulis adalah pembohong - bahkan auditor dan ilmuwan - karena semua tulisan adalah subjektif.
    • Triknya di keseimbangan antara bohong dan laporan. Jika terlalu mengarang-ngarang, cerita malah jadi renta, belum koda keburu koma. Jika terlalu garing ya kasian yang baca.
    • Kata Hemingway, bedanya dongeng dengan laporan ya pada kesabaran dan niatan.
  2. Aksi. Semakin sedikit kata sifat, semakin banyak kata kerja, semakin matang dan nyata sebuah karya cerita. - Annie Dillard.
    • Aku bisa bilang: "Ia merasa sedih lalu menangis pilu sendirian hingga rambutnya yang panjang menjadi berantakan lalu helainya dibasahi airmata." 
    • (Dengan resiko pembaca & penulis muntah bersama.)
    • Atau, nekat pitak kata sifat lalu bertemu dengan salah satu kalimat singkat yang (bagiku, sang penulis gagap) paling berkesan mantap selang belajar menulis babad selama sepekan: "Membenahi rambutnya, helainya berjatuhan."
    • (PS. Cegukan irama itu sebenarnya menyebalkan lho, tuan.)
  3. Catatan Pribadi. Aku menyukai bahasa rambut; dalam sentuhan atau kiasan, juga sebagai barometer kecentilan.
    • Setiap helai menyimpan catatan sejarah kuliner dan emosional & budaya pemiliknya.
      • Wanita Minang menggerai rambut saat kabung.
      • Wanita Jepang memotong rambut untuk menghapus masa lalu kelam.
      • Wanita botak dan berkerudung sama: bukan dengan kecentilannya ia menjangkau surga.
      • Menceritakan rahasia ini artinya aku tidak dapat menggunakannya lagi. Kampret.
  4. Kondisi. Kesengsaraan itu anugerah, Bung. Sumpah. Makin sengsara, makin bagus bahan buat cerita. Merujuk Hemingway lagi, waktu ditanya latihan apa yang paling mempan menempa penulis, katanya: "Masa kecil tidak bahagia."
  5. Kuli. Pada akhirnya, menulis itu sama saja seperti memacul atau menyapu stadion. Pada akhirnya, menulis adalah baku hantam dengan kekosongan. Mendera persendian dan pikiran. Merayu alat ketik (yang tak peduli bahwa #H5 nyaris rebah, padahal 1532 kata dalam layar semuanya sampah dan babu bahasa ini sudah lelah,) untuk membisikkan sepenggal wahyu tersamar.

Saban hari.

6.12.11

Gasing & Layangan

FEAR is an acronym in the English language for "False Evidence Appearing Real" - Neale Donald Walsch Suatu hari Kancil diajak Bekatan bermain gasing.

Bekatan datang dengan kemegahannya. Ia mengenakan topi anyaman yang diletakkan miring di kepalanya. Bulu-bulu lebat di tubuhnya tersisir cemerlang.

Gasingnya juga bagus. Terbuat dari gigi harimau, ditarik dengan tali dari kulit paus.

Bekatan memamerkan mainannya ke Kancil. Tapi tak mengizinkan Kancil untuk menyentuhnya. "Nanti kamu akan merusaknya. Kamu tak memiliki jemari halus seperti kami, bangsa kera."

Karena mainannya bagus, Kancil diam memerhatikan Bekatan bermain gasingnya yang berputar cantik. Tapi lama-lama, Kancil bosan juga. "Kamu tidak punya mainan lainnya? Sesuatu yang kita bisa mainkan bersama?"

Betapa terkejut Kancil ketika Bekatan malah marah. "Kamu terlalu banyak komentar!"

Bekatan mengumpulkan gasing dan talinya, lalu memanjat pohon paling tinggi, dan menghilang antara dahan lebat.

Kancil memandang kepergian Bekatan dengan heran. Lalu dengan marah, karena merasa telah membuang waktunya sore itu. "Jadi aku diajak ke sini untuk apa?"

Esoknya, Kancil bermain layangan di pinggir hutan. Layangan itu, juga benangnya yang kuat, adalah buatannya sendiri. Bagi Kancil, tak ada yang lebih membanggakan dari melayangkan karyanya.

Selagi asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba datang seekor rubah kecil menontonnya.

Kancil segera siaga. Seperti binatang bergigi halus lain, Kancil sangat hati-hati terhadap mahluk bergigi tajam. Ada banyak sekali cerita buruk tentang para rubah, tentang keculasan dan keangkuhan mereka. Juga tentang kebiasaan mereka mencuri makanan dan mainan. 

"Layanganmu bagus," kata Rubah, sambil memerhatikan layangan itu.
"Makasih." kata Kancil.
"Bikin sendiri ya?"
Kancil membentak, "Kamu ngapain sih nanya terus?"
"Aku hanya memuji, bodoh." Kata Rubah. Nadanya kecewa. Lalu tanpa pamit lagi, ia pergi menghilang di balik semak.

Betapa menyesalnya Kancil; ia telah bersikap persis seperti Bekatan yang kemarin juga membentaknya.

Kini Kancil mengerti mengapa Bekatan itu bersikap begitu. Ternyata sikap buruk apapun datangnya dari ketakutan. Ketakutan mainannya dirusak. Ketakutan dimakan binatang lain.

Maka Kancil pun berjanji untuk menjaga sikapnya terhadap binatang lain sampai prasangka yang menimbulkan ketakutan terbukti kebenarannya.


5.12.11

Tapi, Sehari Lagi

“When I let go of what I am, I become what I might be.” – Lao Tzu Lelaki itu jauh-jauh datang, judulnya mengantar sampai peron. Tapi... Aduh, sambil membawa "tapi" seransel.

Yang perempuan harus berangkat ke desa, tapi lupakan.
Yang lelaki akan menikah minggu depan, tapi lupakan juga.

Apapun, jadikanlah dalih untuk menunda keberangkatanmu barang semalam.
Fine. Selama sehari lagi, kita berpacaran.

Mereka ke mall. Ruang publik paling lupa akan pergantian detik dan menit. Dalam gelembung udara basi, mereka mendaur ulang ritual kekasihan.

Mereka makan dan melamun bersama. Bergandengan, menonton film yang judulnya "Alpa Berjamaah".

Tapi penjaga waktu pun butuh istirahat, dan mall hanya menguasai detik dan menit, tak lebih.

Di pelataran parkir sepi, mereka membenahi masa depan. Barang semalam.

Ke rumah?
Ya.

Rumah singgah tak menyimpan kenangan. Seperti mall, semua juga serba instan.

Tapi siapa yang butuh kenyataan jika masing-masing hafal peran?
Yang perempuan menata ranjang dan membukakan pintu.
Yang lelaki memagari kendaraan dan mengunci pintu.

Dalam gelembung persinggahan, tagihan mereka bengkak oleh penundaan, tapi rahasia mereka aman.

Kamu kenapa mencariku lagi? Bukankah kita sudah bertalak?
Aku kehilangan diriku dalam dirimu.
Nanti tumbuh lagi yang lain. Pulanglah. Subuh telah calak.

Ketika berpisah, gelembung itu bocor, lalu pecah. Kenyataan merujah, --

Yang akan ke desa, harus segera berangkat.
Yang akan menikah, harus mulai menaati adat.

Perempuan itu membenahi rambutnya, helainya berjatuhan. Tapi, belum jauh keretanya bertolak, suara lelaki itu mengejar, terhambat keraguan, menutup wasiat.

Aku mencintaimu tanpa tapi.

3.12.11

Setan untuk Siamang

“Peace comes from within. Do not seek it without.” - Buddha Setiap petang, hutan terasa sayu. Semua binatang berkumpul di tanah lapang, bersila dan memejam. Ada kerbau, kambing dan jalak. Ada ayam, babi dan rubah.

Semua tak saling menyadari keberadaan satu sama lain. Sibuk menyatukan pikiran, menunda gerak, dan mengembalikan kesadaran dalam badan.

Antara mereka ada Siamang putih berkacamata. Ia termasuk cerdas karena giat belajar, juga kaya karena giat mencari makan.

Sayangnya, dari semua murid Bante, Siamang juga yang paling nakal dan lasak. Seluruh hidupnya dilewati antara dahan dan pohon, berayun, berkelebat dan berputar. Jika tak terancam hukuman yang lebih berat, tak mungkin Siamang bakal duduk tenang.

Minggu lalu, ia memecahkan cawan Bante karena selebor dan pedar. Antrian menuju mata air terlalu panjang; karena tak sabar, ia menyelak Kura-Kura yang gilirannya membawakan air untuk Bante. Kura-kura terjungkal, cawan Bante hancur berantakan, dan semua mata melototi Siamang.

Pilihannya saat itu hanya dua: Merelakan seluruh harta dan tabungannya dibagikan ke penghuni hutan, atau bersila bersama selama sepuluh hari bersambungan.

Lebih susah mengumpulkan harta daripada teman, pikir Siamang. Maka ia memilih berdamai dengan para binatang dengan cara yang dikiranya lebih gampang.

Hari pertama sila bersama, tubuh Siamang demam dan pegal. Hari kedua hanya pegal dan hari ketiga makin berkurang. Hari keempat sampai ketujuh, ia mulai merasa bangga tubuhnya tak bergeming, dalam hujan, panas maupun kerontang.

Hari kedelapan, dalam kegelapan, Siamang merasakan gemerisik di sisinya.

Hanya Bante yang boleh bergerak saat sila bersama, maka timbul kesenangan karena gurunya memerhatikannya. Tapi betapa terkejut dirinya, ketika menyadari gurunya malah menangkringkan setan di bahunya.

Setan kecil itu buruk dan bau, kulitnya berlendir, matanya berjejer, tubuhnya bergeletar seperti ekor cicak yang baru putus.

Iiiiih, jerit Siamang dalam hati.

Jika ini hari pertamanya bersila, ia bakal melompat-lompat, menggaruk dan menjerit untuk melepaskan setan di bahunya. Tapi karena tak ingin kehilangan hartanya, ia menahan nafas dan kulitnya hanya meremang, merenyut, mengerut agar setan berlendir itu lepas tanpa menggerakkan anggota tubuh yang lain.

Suara Bante menyentaknya, "Kamu sedang apa?"

Dalam kebingungan antara rasa jijik dan senang, rasa takut dan tenang, Siamang kembali mengulang hafalannya selama seminggu berselang. Ia diam; menyatukan kesadaran dengan badan. Menerima yang diberikan, tak meminta dilebihkan.

Perlahan, setan itu melorot, ditandai dengus kecewa karena tak lagi dapat mengusik Siamang.

Di sela gemerisik jubah menjauh, Siamang mendengar, "Lihat? Begitu kamu rela, ia pulang sendiri. Tak ada yang kekal, apalagi rasa, tapi sikapmulah yang menentukan rahmat dan sengsara."

1.12.11

Rumah Kancil

Kancil senang berjalan-jalan. Sudah banyak kota, desa, negeri dan pelosok yang ia datangi, tapi ia tak juga merasa puas berjalan-jalan. Ada kepuasan tersendiri saat memulai setiap hari dengan yang baru dan luar biasa.

Aku pengelana, katanya, rumahku di mana-mana.

Suatu hari, dalam perjalan, ia bertemu dengan seorang kakek dalam kesulitan: roda gerobak sayurannya patah. Kancil kasihan dan segera mengulurkan bantuan.

Awalnya, Kancil mengira, hanya akan membantu sampai roda gerobaknya dapat berputar lagi. Nyatanya, kakek itu juga patah tulang lengannya; tak kuat mendorong gerobaknya.

Kancil semakin kasihan, maka ia mendorongkan gerobak sang kakek sampai ke rumahnya.

Sesampainya di gubuk kakek, Kancil terpana. Rumah itu berada di sisi jurang terjal, jauh dari pemukiman lain.

"Kakek tinggal di sini sendiri?"
"Ya."
"Keluarga Kakek?"
"Perang."

Kancil terdiam lagi. Ia tak tega meninggalkan kakek itu sendirian. Lagi pula masih ada hari esok untuk melanjutkan perjalanan. Jadi Kancil memutuskan untuk menginap di situ barang semalam.

Kancil terjaga dari tidurnya disentak dentang perkakas berat dan riuh semerbak kopi tumpah. Pagi belum pecah, jagat pun masih rebah. Tapi dalam temaram, Kancil melihat kakek tuan rumahnya bersimpuh di sisi tungku, memegangi tangannya.

Kancil bangkit dan membantunya membersihkan kopi yang tadi tumpah dan membuatkan lagi yang baru. Lalu ia membukakan jendela rumah, memuat dagangan dalam gerobak, menjualnya di pasar, lalu mendorongnya pulang dengan Kakek meringkuk lucu di dalamnya.

Tak banyak kata-kata antara mereka. Hati mereka dilapangkan kerja, sementara tubuh penat dengan sendirinya telah bercerita.

Keesokan harinya, Kancil terjaga begitu mendengar air dituang ke dalam ceret. Ia mengambil alih tugas pembuatan kopi pagi. Lalu hari berulang kembali seperti kemarin. Sarapan, kerja, pulang, tidur. Begitu pula esoknya. Setiap hari begitu. Untuk sementara itu.

Kadang Kancil resah, ingin kembali menjelajah. Tapi ia tak tega meninggalkan kakek dengan tangannya yang lemah.

Lagipula, untuk pertama kalinya Kancil menikmati putaran rutinitas tertata. Baginya, setiap hari adalah perjalanan dari ranjang ke ranjang lagi. Bedanya dari perjalanannya sebelumnya, ini pertama kalinya ia menikmati kemewahan tak disangka: mengetahui di mana dirinya akan tidur saat malam tiba. Maka ia menikmati saja gaya hidup yang baginya terlalu biasa.

Suatu pagi, setelah sekian lama hidup di sana, Kancil terbangun melihat kakek tua berdiri di sisi tungku, memandanginya dengan tanda tanya. Tangannya mengangkat ceret air panas dengan tangan sebelah. Dengan mata, kakek memberitahu Kancil bahwa ia sudah sembuh. Itu saja.

Kancil tersenyum. Turun dari ranjang, ia mengambil ceret air itu dari tangan kakek, lalu memulai hari mereka seperti biasa.

Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.
Sarapan, kerja, pulang, tidur.

Sudah.


Satu lagi proyek keisengan Yaya: "Gerakan 30 Hari Menulis". Temanya minggu ini: “7 days to write fairy tale”

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...