28.7.11

Sekelebat

Yaya: Wan, di ruang depan ada jerangkong?

Wawung: Heh? Oh, iya.

Yaya: Udi, Kirno, Cholis, pocong, ular, jerangkong...ajudannya Wawung laki semua, kan?

Wawung: Iya

Yaya: Lah, yang perempuan itu ngikutin siapa?

Wawung: (nyengir.) Yang perempuan di sini siapa?

Yaya: Oh. Ih!

3.7.11

Ríniel

Faith is to believe what you do not see; the reward of this faith is to see what you believe. - Saint Augustine

Karena bosan sendirian di rumah, ibu memutuskan untuk membereskan seluruh koleksi penginangannya. Kesepuluh-puluhnya. Semuanya dikumpuli dari penjuru rumah (di kamar mandi saja ada!) lalu dijejeri di meja makan. Siap disikat, dilap sampai mengkilap.

Ajudannya Ibu, Masnah, maklum bahwa ibu sedang kesepian karena anak-anaknya telah lepas landas dari sarang asal, meninggalkan Ibu sendirian dalam rumah yang kokoh tapi kebaruan yang goyah. Tanpa banyak komentar, Masnah membantu ibu memindahkan perangkat-perangkat itu ke atas meja, lalu ibu minta ditinggal sendiri.

Devil is in idle hands, and God is in movement. Jadi begitu ibu mulai kletikan, menyibukkan diri dengan sesuatu, apapun, rahmat mulai ngalir. Entah karena gosokannya ibu meghalau kesepian atau penuh cinta, tapi perlahan, sinar yang terpantul di tepak penginangannya mulai bercahaya cemerlang, seperti janji yang ditepati, cita-cita yang tercapai.

Saking terpekurnya, ibu tidak memerhatikan bahwa setiap kali combol, bekas sirih, kacip, gobek yang diletakkan kembali di atas baki ketur, tertata apik melingkar, semakin terang pula cahaya setepak sirih itu. Sepuluh kali ibu menurunkan keempat combol, bekas sirih, kacip dan gobek, buka ketur, gosok semuanya sampai mengkilap. Sepuluh kali pula ibu menata semuanya kembali seapik-apiknya.

Begitu kacip terakhir diselipkan antara combol, cahaya kesepuluh tepak sirih menyatu, menyalang teraaaang, mumbul di udara, lalu seperti layar proyektor yang baru terjaga, berkedip-kedip sebelum akhirnya stabil. Ibu sebenarnya takut – merk sabun gosoknya tidak berjanji bakal bersih sampai nyala begini - tapi warnanya cantik sekali.

Apa ada pekerjaan yang dijalani dengan dengan sukacita yang hasilnya tak cantik? Maka sambil menahan nafas, tangan ibu terjulur, menyentuh tepak terdekat.

Keluar dari katup keturnya peri kecil yang bulat dan lucu. Lengkap dengan kemben dan selendangnya yang mengambang di udara. "Halo!" katanya, "Namaku Ríniel. Ibu memanggil?"

Masih terpesona, Ibu menggeleng pelan. “Ibu ga berasa pernah manggil peri yang bulat, kuning bau kinang pulak.”

“Yah, buk, namanya juga peri penginangan, penampilan kagak bisa jauh-jauh dari bentuk combol & ketur.”

“Kenapa ga mirip kacip aja?”

Ríniel menepuk dahinya. Nasibnya sebagai peri penginangan selalu ketemu ibu-ibu rumah tangga. Ini masih belum apa-apa. Terakhir kali digosok Hartinah, yang baru dilamar, mengeluhkan repotnya bayar mas kawin calon suaminya, kang Harto. Sebelumnya, Drupadi meminta diramukan jamu untuk meringankan tugas malamnya.

Menghela nafas panjang, Ríniel membujuk Ibu, "Tapi katanya perangkat penginangan, biasanya mereka cuma dipandangi dari jauh, paling banter diusapi sekilasan sama Masnah. Ini yang punya rumah sendiri yang ngelapin! Pasti ada sesuatu!"

Dahi Ibu mengrenyit. Ada yang akrab dan hangat pada peri gendut kecil itu. Tapi apa, ibu lupa. Lagi pula, siapa juga yang mengira beli penginangan antik di internet bisa dapat bonus peri?

"Biasanya anak saya yang main sama peri. Dia pasti lebih mengerti maksudmu apa."

"Anak ibu?!" Ríniel tersedak takut, "Di mana dia?"

"Sedang tidak di sini. Adik-adiknya juga sedang tidak di sini."

"Kapan mereka kembali?"

"Masih lama."

Peri kecil itu menghela nafas lega. "Anak-anak jaman sekarang galak-galak, bu, ga ada yang senang peri penginangan, apalagi yang gendut sepertiku. Aku takut..."

Ibu menyeletuk, "Siapa suruh jadi teleto..." tapi tidak menyelesaikan kalimat. Jangan deh, bisa repot kalau rumahnya dihuni peri depresi.

Diam sesaat. Ríniel lalu melayang mendekat, mencium muka ibu, "Ibu kenapa?"

"Ibu bosen. Kesepian. Ga ada teman. Rasanya hidup ini sudah selesai. Masa ga ada lagi terusannya yang lain?"

Ríniel cekikikan. "Ada beberapa pilihan. Mau coba yang mana?"

"Eh?"

"Iya, bu, Ríniel kan peri! Bisa macem-macem. Ibu mau ganti hidupnya ibu? Ríniel bisa kasih kehidupan yang lain!"

Ibu ngangkat alis sebelah. Insting dagang langsung jalan. "Ada yang ga beres nih. Ada berapa pilihan?"

"Semaunya ibu!"

"Harganya berapa?"

"Udah ibu bayar lunas semua dengan membersihkan kesepuluh penginangan! Sekarang ibu tinggal duduk manis terus bilangin kapan Ríniel boleh mulai. Kalau ga suka pilihan yang Ríniel kasih lihat, ibu tinggal bilang stop. Terus Ríniel bikinkan lagi yang lain. Gampang kan?"

Ibu berpikir sebentar. Bisa aja peri ini belum ahli. Kalau menyangkut di suatu pilihan yang tak enak bagaimana? Atau tak bisa kembali lagi? Atau...

"Bu! Ríniel udah ngerjain ini berkali-kali! Koleksi penginangan ibu ANTIK SEMUA! Masa bertahun-tahun nongkrong di dalamnya ga bikin sihir Ríniel lebih tajam sih? Ríniel bukan peri Madura, Buk!!"

Ibu menyerah. Acaranya hari ini adalah bermain dengan peri. Sambil memangku dan mengelus-elus kucing yang memanjat ke pangkuannya, ibu melirik ke Ríniel.

Ríniel paham, ia bertepuk tangan sekali.

PILIHAN PERTAMA:

Gema tepuk tangan Ríniel membuat binar cahaya di sekelilingnya mengembang, menjadikan semuanya putih, lalu redup dengan kenyataan berbeda. Ruangan duduknya berubah. Di sekeliling tampak ibu di rumah yang besar, punya suami yang masih muda, penuh cinta dan kesetiaan. Dan karena pasangan ibu masih muda, suami Ibu masih menginginkan anak. Anak-anak yang kecil itu berisik. Tembok rumah dicoreti, porselen ibu dipecahin. Sekolahnya masih lama. Masih harus dididik, dicariin guru les, diajak jalan2 ke toko mainan. Belum lagi masa remaja...

"stop stop! ibu ga mau pilihan yang ini!! ibu udah puas ngerjain itu semua. Ibu ga perlu ngulang cerita yang udah pernah terjadi. pilihan yang lainnya ga ada?"

mata Ríniel terbelalak. "Tapi ini pilihan hidup mantannya ibu!"

"bodo amat. ganti!"

Ríniel bertepuk tangan lagi.

PILIHAN KEDUA:

Sebuah rumah kecil, sempit, penuh buku. Anak-anak lelaki ibu masih di rumah. Yang menikah bawa istrinya ke rumah. Yang belum juga masih di rumah, mempertimbangkan pacarnya. Tapi masuk umur 30, lelaki pertama berpisah dengan istrinya, berhenti kerja. Yang bungsu masih saja bertimbang, sekolahnya tak juga selesai. Keduanya minta dilayani terus. Kalau tak diberi, marah-marah, menangis, merusak barang di rumah.

ibu sampai tua kerja terus cari uang untuk mbiayain kedua anak itu. Iya, sih, mereka tak pernah bikin ibu sampai kesepian dalam empty nest, tapi, gila, tak ada istirahat, tak ada pensiun. Dan ketakutan itu setiap hari...

"STOP!!" jerit Ibu. Ibu menarik napas berkali-kali. Antara mau menangis dan marah.

"Kenapa, bu?" Tanya Ríniel pelan.

"Ini terlalu menyedihkan. Ganti. Aku maunya anak-anakku mandiri semua. Pilihan berikutnya apa?"

PILIHAN KETIGA:

Anaknya ibu mandiri semua, cerdas, penuh pengakuan masyarakat. Bakti dan solider pada ibunya. Tapi saking solidernya sama ibu, jadi penuh sia-sia pada bapaknya. Iri hati dan dengki satu sama lain, apa lagi sama orang lain. Semua keberhasilan mereka lahir dari kedengkian dan kerendahan diri, semua hasil kerja mereka untuk membalas dan menggencet siapapun yang lebih lemah dari mereka, mengejek keberhasilan siapapun yang bintangnya sedikit saja lebih cemerlang.

Ibu melengos. "Ríniel!"

"Iya, bu." Ríniel langsung bertepuk tangan lagi.

PILIHAN KEEMPAT:

Ibu sukses, tidak butuh pacar karena temanya banyak. Bebas jalan-jalan. Dapat pengakuan sepuasnya. Anak-anaknya yang cukup umur dan mandiri semua. Anak yang masih di rumah sangat manis, berbudi dan tak pernah salah ucap. Selamanya tidak akan pernah salah ucap. Selamanya akan membutuhkan ibu. Selamanya akan menatap ibu dengan pandangan cinta yang tulus karena itu yang terjadi pada anak-anak dengan down syndrome.

Kali ini tangan ibu yang bertepuk. Ríniel menyusul.

PILIHAN KELIMA:

Semua anak ibu sehat. Bisa mengurus diri sendiri atau diurus orang lain. Pacar ada, baik hati pula. Tapi lepas dari itu semua, ibu tidak bekerja. Gengsi dan umurnya tidak mengizinkan untuk kerja rendahan, tapi kebutuhan juga tak melarangnya menerima penghasilan pacarnya atau orang lain…

Di sini ibu berdiri. Marah. Merasa dipermainkan peri.

Tanpa menegur Ríniel lagi, ibu naik ke kamar sambil berseru: "Masnah! MASNAH!!! Beresin, Masnah! GA USAH DIPAJANG LAGI. Bungkus semuanya dalam kardus. Ibu ga mau liat lagi."

===========

Seminggu kemudian, ibu menjejeri lagi seluruh perangkat penginangannya di bawah tangga.

Dilapi lagi satu-satu semuanya. Sampai bersih. Sepuluh kali berulang-ulang. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya, karena baru seminggu yang lalu dibersihkan. Ríniel muncul lagi saat combol terakhir diletakkan di atas baki ketur. Masih lucu dan bulat dan bercahaya. Tapi terbang lembut dan perlahan dari sebelumnya. Ia mengambang dengan kepala dan mata tertunduk santun. 

"Kenapa semua pilihanmu menyebalkan?" Tanya ibu.

“Karena kita masih di sini, bu. Masih di bawah tangga rumah Sulaymaniyah, di Jeddah.”

"Memang kenapa?"

Peri itu tersenyum sedih, melayang, terbang ke atas, ke tingkat dua, terus ke tingkat tiga, lalu turun kembali memeluk pipi ibu.

"Anak-anak ibu belum pulang?"

"Belum." Ibu sedih lagi. Teringat kenapa tadi pagi rasanya tak tahan menahan sepi, sampai harus membongkar lagi koleksi penginangannya. Biarpun sekedar bertemu peri obesitas.

Ríniel diam, memerhatikan wajah ibu. "Ríniel punya satu lagi cerita, bu."

"Ga mau. Cerita-ceritamu menyebalkan. Terlalu realistis. Ibu maunya cerita yang happy ending."

"Tapi di bawah tangga, di rumah Sulaymaniyah, di Jeddah, ada kok cerita yang happy ending, bu."

"Fine. Apa ceritanya?"

Kali ini Ríniel hanya bertutur, tak beratraksi mistis. Suaranya pelan, hampir tak terdengar indera, tapi jelas terpatri dalam kesadaran. Ibu menutup mata dan mengosongkan pikiran agar dapat merasakan lebih jelas.

“Anak-anak ibu mandiri semua. Ibu tidak bisa yakin sepenuhnya bahwa perjalanan hidup mereka akan selalu baik, aman sentosa dan tanpa cobaan, tapi ibu yakin mereka akan bisa mengatasinya dengan cara mereka masing-masing.

“Saat rumah ibu sedang ramai, ramai sekali. Tapi kalau sedang sepi, sepi sekali. Dan lama kelamaan, ibu mulai menikmati perpindahan antara kedua situasi itu. Saat ramai, ibu ikut ketawa, cengkrama bersama mereka. Kalau sedang sepi, ibu juga lega karena bisa mengistirahatkan indera dan mengingat bahwa ini yang sejati. Ibu juga bisa main internet sepuasnya tanpa ada yang menjajah bandwidth, sepuasnya melihat-lihat belanjaan di internet. Tak ada yang berantem, tak ada yang meminta uang atau menangis-nangis sambil merusak barang. Tak ada menagih hutang, pacar yang gelendotan, atau mertua yang tak bungkam.”

Pilihan cerita yang sangat biasa. Tapi tidak apa-apa. Realita yang akrab lebih ringan diterima karena sudah biasa, berulang kali dituturkan.

Saat cerita terakhir itu selesai, Ríniel telah menghilang. Perangkat penginangan ibu masih lengkap mengkilap, tapi Ríniel sudah pulang, tinggal gemanya saja, “Semoga Ibu bahagia sebesar syukur.”

Ibu tidak perlu lagi ketemu Ríniel. Sekarang ibu tahu, Ríniel artinya "Anak yang mengingat."

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...