4.9.12

Catatan Tentang “Turbulence”

(Karena aku ingin mengenang dan belajar terbiasa dengan proses ini.)

  1. Beberapa hari ini menikmati bukunya Steinbeck yang berjudul “Once There Was A War”. Gaya cerita Steinbeck yang getir dan datar membuatnya lucu dan menjebak. Kadang tak peduli lagi apakah dia sedang berkelakar atau sekedar memberi informasi; cerita-ceritanya melesak dengan keringkasan kata-kata. Aku ingin bisa menulis begitu.
  2. Ibu  sedang di sini. Entah mengapa, dengan segala ketidakcocokan antara kami berdua, Ibu mengira aku lucu. Aku tidak melawak, tapi Ibu geli. Jadi, mungkin ada yang lucu dalam bahasaku bercerita. Amin.
  3. Inspirasi Turbulence datang beberapa bulan lalu. Saat itu aku benar-benar yakin bahwa pesawat yang kutumpangi akan jatuh dan aku tak akan bisa menjelaskan kenapa aku sampai (tak sengaja) mati. Aneh, bukan? Pikiran sebelum mati malah sebuah apologi: “Mohon maaf karena telah membuat Anda bersusah hati. Tadinya hanya berniat makan di Saudi. Ups, ternyata malah jadi begini.”
  4. Turbulence pernah aku draft selagi kepanasan di Tebet dan jauh dari tenggat. Meskipun sambil ditunggangi peri, tapi hasilnya sepat. Bertele-tele. Tulisan yang bertele-tele adalah biang mumet. Hapus.
  5. Hari itu menyenangkan. Aku bolot. Satu-satunya yang kulakukan adalah mengobrol dengan teman-teman yang sangat jauh tentang hal-hal yang sangat dekat. Ketika aku memohon diri, aku terbawa rasa terdesak. Rasa bahwa ini adalah percakapan pada akhir hayat. Bahwa hari ini, hanya tulisan ini yang akan mengingat. Dan pesawatku akan segera rampak. Untuk sekian kali-lipat.
  6. (Bukankah kematian memang berkali-lipat? Setiap malam? Setiap kali naik pesawat? Setiap kali mengucapkan doa selamat?)
  7. Turbulence yang akhirnya dipublikasi di blog ditulis begitu: terburu-buru. Pukul 22:10 mulai draft. Setengah jam diedit. Dites dengan Readability Tool sampai akhirnya mencapai nilai readability yang rapat. Pukul 23:30 lepas landas.
  8. Sambil menulis, aku mendengarkan Steinbeck. Kue gemblong. Yusi Avianto Pareanom. Aku kangen dan horny. Agak lapar. Tak yakin lagi mana yang lebih menyiksa; kantuk apa rasa bersalah.
  9. Tidak ada penulis yang merasa betul-betul puas dengan catatannya. Aku masih kangen dst.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...