25.10.19

Ayat Cadar

Sejak pengeboman gereja di Surabaya saat Paskah 2018, saban ngeliat wanita niqabi, cadaran sampai mata, bawaannya pengen ngajakin berantem.

Biasanya bunyinya begini, "Keluarga gue puluhan tahun tinggal di Arab, naik-turun haji saban tahun. Jangankan ngaji, pacaran aja pake bahasa Arab. Mana ada yang niqaban?"

Terus, “Siapa sih yang ngajarin niqaban? Mana dalilnya? Apa tarekat & sanadnya? Justifikasi spiritual, sosial, ekonomi, ilmiahnya apa yang bikin wanita Indonesia mendadak cadaran?”

Lanjutan ngomel: “Ayat cadaran diturunkan bersangkutan dgn istri-istri Kanjeng Nabi, atas dasar konteks ini-itu di masanya. Mana itu lelaki Indonesia yang berasa udah segitunya setara ama nabi sampe bininya dicadarin?”

Ujungnya ngomel: “Di Saudi, wanita yang cadaran itu kelas sosial ekonominya…”

Oh.

Ini dalih yang selalu bikin ulama, ilmuwan & sosiolog bungkam: “Orang yang ga punya harta duniawi, apalagi hiburannya selain angan-angan surgawi?”

Karena, faktanya, di Saudi pun sama.

Yang modalnya cuma badan, ya harus dijaga ketat hartanya. Apa lagi yang dimilikinya untuk bargaining power? Kalau penampilannya jagoan tapi otak dan perutnya kosong, mau sekuat apa dia mempertahakan posisi sosialnya?

Yang modalnya lebih dr sekedar tampang, yang debatnya kencang, kuat adu balapan…ya, pastinya asupan gizi & semangat hidupnya kenyang.

Tapi…bahwa gue paham logikanya, paham justifikasi wanita Indonesia pada rame-rame cadaran, ga lalu jadi lapang hati terima kehadiran mereka di tempat umum.

Sampai ketemu sendiri.

Suatu siang, di tempatku kerja magang ada satu mahluk bercadar yang datang untuk bertanya soal visa ke SomeCountry.

Saat gue datengin, kesongongan menggeram: jalan lebih tegap, rambut disibak, suara ngebas, emosi jadi beku sejauh masih bisa sopan.

Tapi begitu dia ngomong, gue lumer kasihan.

Bok. Suaranya lirih gemetar.

Gue bukannya ngajakin Ms. Cadaran berantem, gue malah jadi nahan diri utk ga nepuk-nepuk. Untung aja ga sampe: “Cep, cep, maap. Kaget ya? Bubu kegalakan ya? Maap, maap.”

Ga seru. 😒

(Soften)

Mo dia cadaran apa nggak, dia tetep perempuan, men.

Cadaran adalah caranya bertahan hidup. #MeToo

Gue percaya bahwa perempuan yg dulunya santri lalu murtad, ya pasti pertimbangannya udah di taraf memilih antara hidup atau mati.

Kalo perempuan lain mengambil sikap sekeras cadaran sebadan, membenam identitas sampai segitunya, kurang lebih sama juga. Pertimbangannya udah setaraf mau hidup atau mati.

#metoo

Gue cuma tulus berharap bahwa ketika wanita-wanita bercadar itu pada saat dandan mo keluar rumah, ga ada yg mikirnya: “Nyohoho, gue mo bikin kesel orang-orang yg ga bisa liat tampang surgawi gue.”

Karena gue KAGAK yakin haqqulyaqin, ga yakin seyakin-yakinnya, bahwa gaya berfesyen adalah hal yg krusial di timbangan amal.

Karena gue maklum susahnya jadi perempuan. Jadi perempuan Indonesia & Amerika aja susah. Apalagi jadi perempuan Saudi. Yeah. #metoo, man. Maklum.

Apapun gayanya, semoga selamatnya barengan. Selamat nang dunia. Selamat nang akhirat. Amin.

*NB.* Bisa ga sih serius mengkritik tanpa marah-marah? Bisa ga sih berdebat tanpa saling berusaha mematahkan? Gimana caranya kita bisa berbeda pendapat dan tetap saling mengangkat satu sama lain?

Kalo kurus tanpa keringetan?


Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...