(Masih mengacu dari posting kemarin.)
Gimana caranya agar niat kita baik? Tahunya dari mana bahwa niat kita sudah baik, padahal rahasia hati milik Tuhan?
"Yang halal sudah jelas. Yang haram juga sudah jelas. Kalau bingung antara haram atau halal, lebih baik dijauhi…Karena mendekati shubhat seperti mendekati jurang; cepat atau lambat bakal terjerumus." -
Kanjeng Nabi
Mungkin kita cuma bisa memantulkan tanda-tanda niat dari siklus prilaku. Mungkin maksudnya Wawung dengan “niat saat mencari duit”, juga bahasa Jawanya (baca: halusnya) bahwa yang melegalisir rejeki sebagai "halal”, adalah memandang siklus itu secara menyeluruh.
Dari metode mencari uang, meyimpan uang, mengeluarkan uang. Lalu diulang.
Hafalan
Sebelum melantur lebih jauh tentang duit, imani dulu: Rejeki tak kemana.
Tidak ada ciptaan yang mati sebelum rezekinya, sampai sen dan atom terakhir, mencapainya. Kalau sudah rezeki, biar lari sampai kemana, akan tetap mencapainya. Kalau belum rezeki, biar dikejar sampai kemana, tak akan sampai.
Itu satu. Amini dulu. Sudah?
Kedua: Setiap kali menyebut duit, maksudku bukan sekedar mata uang & berlian. Tapi semua yang material, termasuk baju, makanan, kecerdasan, kemudaan, broadband, anak, dsb.
Masuk
Sekreatif apapun metodenya, undang-undang mencari penghidupan cuma satu:
لا ضرر و لا ضرار. Jawane, jangan membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
(Itu tradisi Islamnya. Tradisi Buddhanya “
Samma-Ajiva”. Tradisi Nasrani, Yesus. Tradisi logisnya: emang enak?)
Simpan
Secara dunia fana ini cobaannya sebentar-sebentar, metode proses (biar duit itu berkah bertambah; bisa bikin sejahtera, tak sekedar kenyang, apalagi jadi musibah) sama seperti metode penyimpanan makanan: begitu dibawa ke rumah, dicuci dulu sebelum masuk mulut.
Duit dicucinya dengan zakat & sedekah.
Di Islam, namanya Zakat & sedekah. Di Buddhisme, Dāna. Di Nasrani, charity. Di Undang-undang negara, pajak. Intinya sama: sabun dan mesin cucinya rezeki di tangan adalah berbagi dengan Tuhan dan manusia.
(Iseng: Tebak zakat & sedekahnya seks, suara & sahabat. Reply ke @Angsar. Hadiahnya RT. Hihi.)
Habiskan
Yang halal jelas, yang haram jelas. Yang bingung mancing kualat.
Lepas dari itu, riset membuktikan bahwa semakin mahal barang yang kita beli, semakin lancar hormon happy diproduksi otak, semakin percaya bahwa pembelian itu sebanding. (Pernah liat video tentang
efek placebo?)
Makanya kalau ke mall, aku masih konflik, "masih halal ga sih beli satu lagi gadget? Kan belum punya MacJinjing!"
Wawung bilang boleh, karena lebih baik ngabisin duit di komputer jinjing daripada judi…atau judging orang. (
halah)
Di lain waktu, Wawung juga pernah bilang, ngasih duit ke ajudan jangan kebanyakan. Nanti malah malas kerja, dan itu jadi dosanya kita yang ngasih tanpa perhitungan ama kemampuannya mengontrol dirinya.
Intinya ini, punya duit ga bikin hidup lebih gampang atau lebih susah dibanding yang duitnya pas-pasan. Duit itu sendiri pasif, elemen tak bego & netral. Ada banyak sekali orang yang bisa sejahtera dengan seceng-rongceng. Juga banyak sekali orang yang sengsara karena duitnya kebanyakan.
Titipan
Setekun-tekunnya kita bergulat untuk mengabadikan sesuatu, akhirnya semua akan pulang ke Pemilik Asal. Saat mengembalikan titipan, jawaban apa yang kita siapkan saat ditanya Sang Pemilik Asal: "Kau apakan saja titipanKu selama di tanganmu, bung?"
-------------
Catatan:
Peng: Duit (Bhs. Aceh prokem)
Tadinya ragu: topik ini terlalu remeh ga ya? Kebayang muka Pembaca memble, memutar mata karena merasa waktunya telah terbuang: Itu sih semua orang juga tau!! --- Iya, iya, maap. Yaya baru tahu, jadi pamer.
(^..^)
Selain itu, menulis membantuku menghafal; seandainya lupa, ada saksi yang mengingatkan. Perempuan kan otaknya cuma setengah.
Pfft.