Aku menemukan kehangatan di punggung tukang ojek. Selain mengamanati tubuh dan nyawa pada kepiawaiannya menyelipkan motor antara truk gandeng, dia juga pendengar baik yang sepaham.
“Rumah itu harganya limabelas milyar, Kang.”
“Mahal bener!”
“Iya, kang. Duit segitu bisa buat beli berapa nyawa ya kang?”
Suatu saat, karena kepepet sepat, aku memalaki tukang ojek terdekat. Dia pasrah menerima uang ganti pemantiknya. Sekali lagi, karena malas, aku memintanya mengantar pulang tasku. Tas itu lebih cepat sampai rumah daripada pizza.
Waktu dia menurunkanku di depan salon dan bilang, “Mbak, rambutnya jangan dicukur lagi,” aku tertawa, tapi posting ini aku dedikasikan untuk anonimitas mereka.