Pernah sekali, seorang tukang pijat pergi motokopi dokumen di sebuah pasar di Jakarta. Dokumen-dokumennya dalam bahasa Arab, jadi saat membayar ongkos fotokopi (Rp 11'000), tukang fotokopinya nanya-nanya. Ujung-ujungnya, tukang pijat terpojok membela diri: "Nggak! Aku ga ngurusin perdagangan budak ke Arab." -- Sekaligus ngaku-ngaku tukang pijat sebagai pembelaan.
Ada orang-orang yang dosa mulut dan hatinya dibayar kontan dengan badan. Sekalinya salah ucap atau buruk niat, langsung kualat. Begitu tahu profesi kliennya adalah memijat, tukang fotokopi langsung curhat. Terus minta dipijat. Karena ga mau menambahkan dosa mulutnya, tukang pijat menurut sambil diam mendengarkan omelan dalam kepalanya.
"Siapa suruh juga buka mulut. Orang macam apa yang tersinggung cuma gara-gara kertas? Tukang fotokopi tadi hanya buka obrolan; itu bagian dari pekerjaan para pedagang. Bukan pekerjaanmu untuk menjual pembelaan. Seandainya tadi hanya mengangguk sopan, tak bakal kerja bakti dadakan di tengah pasar, pas tengah hari bolong."
Ketika selesai memijat pasaran ("Terima kasih, Gusti, atas pelajaran tentang kerendahan hati,") tukang pijat memohon diri. Tukang fotokopi malah menahannya lagi. Tak disangka-sangka, ia menyodorkan selembar Rp 10'000 ke tangan tukang pijat yang gelagepan menolak.
"Ini bayaranmu,” kata tukang fotokopi. “Tolong diterima. Kami juga tak ingin berhutang."
Tukang pijat terharu. "Tak ada kebaikan yang lunas. Semoga dibalas berkali-lipat. Amin."