Ibu,
Kemarin Missa mengadu tentang ibunya. Dia bilang, ibunya kesepian dan menyuruh Missa pulang ke desa mereka. Tapi Missa lagi kerja di negara bagian lain, dan sangat menikmati pekerjaannya itu. Kata Missa, kalau dia pulang, ibunya malah pahit & jahat mulut, karena Missa lebih mementingkan pekerjaannya, semangat hidupnya, daripada menghibur ibunya.
Mba kasihan sekali sama Missa dan ibunya. Mba bilang, ibumu ga bisa dibantu, Missa. Kesengsaraan dan kebahagiaan adalah pilihan masing-masing orang. Tante D harus cari sendiri solusi untuk kesepiannya. Karena, sebanyak apapun manusia yang ada di sekelilingnya, tidak ada yang dapat menghalau kesepian untuknya.
Mba bilang, ini yang mba lakukan ke Ibu di Jeddah: Mba diamkan.
Emang sih, kalau lagi kambuh, makin lancar jalan mba ke neraka dengan PhD(urhaka). Tapi akhirnya ibu, saking putus asa dan kesepian puoll, terpaksa cari hobi dan pekerjaan apa saja. Meskipun remeh dan kelihatannya ga penting. Seperti numpukin antik & membersihkan perangkat sirih. Yang penting kesepian itu larut.
Karena dari bekerja itu harinya ibu bergulir lebih lancar. Bukankah kerja adalah ibadah? Karena dari sibuk itu kita menghalau setan dan galau. Karena Tuhan adanya di tangan yang bekerja.
Dan, karena ga ada orang belajar lalu tambah pinter dari terus-terusan sukses dan bahagia. Kalau Missa berhenti kerja lalu pulang, itu solusi jangka pendek yang buntung. Malah bakal menambah kesengasaraan jadi dobel: sudah ibunya sengsara, ditambah Missa yang ikutan sengsara juga karena melepaskan panggilan hidup untuk mahluk lain.
Mba bilang, iya, mba ngerti Missa kuatir ibunya bakal menyumpahi dirinya masuk neraka. Terus mati dengan sumpahnya, dan Missa menyesal selamanya. Tapi bukankah itu pilihan ibunya yang sukarela mengisi hatinya dengan bahasa neraka? Tuhan tak sekonyol itu. Bukankah dengan Missa hidup sebaik-baiknya, menjalankan tugasnya di Bumi, ia sedang melanjutkan amal baik ibunya?
Ga semua perpisahan artinya kematian, juga ga semua kematian adalah perpisahan. Buktinya, kata Gusti Pangeran, mereka yang telah mati tetap hidup dalam rahmatNya. Buktinya, semua anak perempuan Ninik pergi ga balik lagi ke rumah, dan semuanya mengenang Ninik dengan haru sepanjang masa. Buktinya, Ibu & mba jauh lebih mesra di telpon daripada di rumah. Dan kita lebih mirip keluarga dengan interaksi yang sedikit-sedikit tapi penuh pengayaan, daripada yang sering-sering tapi getir basi.
Mana lebih enak, disumpahi masuk neraka dan saling pahit sampai mati, atau jauh-jauhan tapi dikangenin sampai Hari Kebangkitan nanti?
Kenapa yang begini-gini ga disebutin dalam Alkitab sebanyak cerita tentang bahayanya neraka, bu? Satu-satunya cerita yang mba hafal cuma ceritanya Saad bin Abi Waqqas sama ibunya. Gini ceritanya:
Saad masuk Islam. Ibunya ngambek. Saking ngambeknya, ngancem bunuh diri dengan tidak mau makan sampai Saad melepas kepercayaannya yang baru dan kembali ke jalan mereka yang lama.
Kata ibunya Saad, "Kalau ibu sampai mati, dosanya kamu yang nanggung. Ibu nggak kuat ndengerin omongan orang sekampung ngatain kamu segitu sintingnya hingga pindah agama, ninggalin tradisi keluarga kita turun temurun demi sekte baru yang kagak jelas gitu."
Saad anak tunggal. Pujaan sekampung, ahli memanah dan ksatria, belum lagi baktinya sepenuh hati sama ibunya. Tapi soal yang ini, dia membatu.
Katanya lembut, "Buk, ibu mau mati terus idup lagi saban hari, mau ndengering omongan orang sampai congek, mau nyumpahin sampai Saad masuk neraka bolak-balik, MONGGO. Saad masuk Islam bukan karena Ibu atau omongan orang atau karena takut masuk neraka karena jadi anak durhaka. Ada yang lebih kekal daripada itu semua, buk. Dan ga ada ciptaan yang sebanding denganNya."
Ibunya Saad ngalah sejak itu. Terus akhirnya mau makan lagi. Lalu Saad, Arjunanya Islam yang durhaka ama ibunya, disentil dalam Al-Quran, sebagai pengukuhan pilihan anak dan orangtuanya: semoga semua menjalankan tugas masing-masing di dunia karena Allah semata. Bukan karena omongan orang(tua) atau surganeraka. Tak lebih. Tak kurang.
Amin.