22.4.10

Ras

Margi pernah mengeluh di blognya tentang kecinaannya yang nanggung. Kalau di radio Elshinta, rasanya hampir tidak pernah kita mendengar istilah CINA. Biasanya diperhalus: “warga keturunan”, China (baca: cay-na), Chinese atau Tiongkok.

Mungkin padanan Saudinya adalah sebutan “Hindi” atau “Jawa”; sama perihnya seperti disebut “Cina” di Indonesia.

Tapi semua itu sih belom apa2. Bayangin orang yang asal-usulnya campur aduk: Madura, Sunda, Batak, Arab, Padang, dst. Di setiap desa homogen, orang dengan keturunan campur-aduk harus tebal muka, karena setiap sudut mukanya bisa dihina.

Itu kalau dipanggil menurut ras memang terasa menghina.

Karena bahasa (baik itu humor, ejekan maupun pujian) sangat kontekstual: tergantung siapa yang lempar-terima. Soalnya, kalau kita tersinggung dengan sebutan yang ditempelkan, baik itu berunsur SARA, IQ atau merek pakaian, yang reaksi kita mencerminkan kepercayaan diri kita sendiri.

Misalnya kita merasa terhina dengan sebutan tolol, ya artinya kita mengakui kebenaran sebutan itu. Jika merasa tersanjung saat dibilang mirip Bule atau cerdas, ya artinya identitas kita tergantung apa kata orang.

Makanya, jadilah seperti garam, dipuji atau dihina, tetap asin. Makanya peganganlah ama motto ini: Pantang dipuji, kebal dihina, bung.

Cina ya Cina. Jawa ya Jawa. Botak ya botak. Yang penting kan tetap asin.

PS: Umumnya manusia, tak sayang karena tak kenal.

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...