7.4.10

Kuper

Ben memperhalusnya dalam kalimat: Terlalu terpaku dalam kepala sendiri. Tidak bisa menghadapai lebih dari satu orang setiap kali pertemuan. Intinya sih sama: Kurang Pergaulan, alias KuPer.

Salam kenal, pembaca, penulis blog ini adalah manusia yang sangat kuper. Nerdy. Seperti petasan di SPBU; tidak ada yang bisa memperkirakan kapan percikannya akan menyulut kebakaran.

Makanya, semakin sadar diri (a.k.a. paranoid), semakin malas pula bergaul dengan orang asing. Apalagi untuk sekedar basa-basi. Resiko tak sebanding dengan usaha, man. Resiko untuk mempermalukan diri sendiri di depan khayalak terlalu besar dibanding tidur nyenyak tak resah: “Aku tadi salah omong apa ya?”

Terus, mau diapain cacat sosial ini?

Ada tiga pilihan:

  1. Belajar bergaul. Belajar kode-kode etik bersosial. Belajar cengar-cengir kesana-kemari.

    RESIKO: Keenakan menawan hati orang, sampai ga mau pulang ke persemedian lagi.

  2. Atau biarkan saja jadi manusia kuper. Nanti kalau udah ga bisa ditawar lagi, mau nggak mau bakalan harus belajar.

    RESIKO: Telat belajar, lebih sering ditertawakan orang sampai bisa.

  3. Pakai gimmick. "Iya, saking demam panggung sampai nyanyi di kakus aja takut didengar orang. Tapi CAKEP KAN?"

    RESIKO: Kalau lagi ga bawa gimmick mau nari hula?

Halah…Gini aja kok repot sih?

Aku senang hidup dalam kepalaku. Selama cacat sosial tersebut masih bisa diakalin dengan sembunyi terus, kenapa tidak?

Ya, ya, ada saatnya aku akan terpaksa menghadapi masyarakat. Dan saat itu terjadi, akan ada orang2 seperti Ben yang dengan penuh kasihan dan kasih sayang mengingatkan: “Tangan yang diulurkan itu untuk dijabat, Neng.”

Memilih GPS

  Photo by Thomas Smith on Unsplash Tentang memilah tanda dari semesta. Gimana caranya yakin bahwa tanda yang kita dengar itu beneran wangs...