Di perjalanan ke Jakarta, otakku mengerut. Kram. Seandainya mulai besok ga bisa online selama 10 hari, artinya si Hning kudu diisi dengan tulisan terjadwal secukupnya. Paling ga biar ga ketara banget malesnya.
Tapi merasa harus ngarang malah bikin tambah macet. Udah bakat cuma segini-gininya, pake ditambah tegang deadline; makin keliatan aslinya.
Setengah putus asa, aku ngeluarin netbook. Barangkali menelanjangi layar bisa mengundang birahi para peri.
Yang ada, bocah di kursi seberang malah terpesona dengan mainan di pangkuanku. Anak itu duduk sejajar dengan ibu dan adiknya. Umurnya sekitar tujuh tahun, adiknya mungkin dua-belas tahun (cerewet gila!).
Aku makin gugup diperhatikan; tidak terlalu suka anak-anak, tapi juga tahu kekuasaan mereka terhadap yang lebih tua.
Anak tadi turun dari kursinya, menyeberang gang antara kursi sambil menyeret adiknya, lalu berhenti tepat di sebelahku. Asli. Nempel. Sambil melongo, perut mereka melesak tertekan sikuku.
Aku mengeluh dalam hati, menghitung kesengsaraan. “Deadline,10 hari absen, 7 hari tanpa ide, 3 draft sampah, ngantuk DAN dipelototi anak orang…Becanda kali ya?”
Nyerah deh.
Netbook aku tutup. Gantinya aku keluarin buku tulis dan pinsil. Mulai menghitung garis halaman. Awalnya lancar, “satu, dua, tiga…” lalu mulai lupa…”uhm…eeenaammm…tuuujjuuuh…eh, mas, abisnya tujuh apa ya?”
Si mas tersentak. Dia menggeleng dan tersenyum malu-malu. Adiknya yang menjawab, “delapan!”
Terus?
“Sembilan!” kata mereka barengan. Cairlah kemalu-maluan.
Saat garis di halaman itu habis dihitung. “Yak, terima kasih. Untung kalian hafal. Sekarang, coba tebak ini gambar apa?” Aku membuka buku gambar yang isinya corat-coret manic-depresif.
Itu kucing…itu anjing…itu marah. Mereka menggeleng saat melihat ekspresi takut, dan kupu-kupu. Mungkin karena belum mengenal kedua hal tadi. Atau kupukupuku mirip coro.
“PINTAR!” aku bertepuk tangan. “Mau coba nggambar?”
Serentak keduanya menggeleng kenceng.
“Bagus.” Aku merobek dua lembar kertas kosong, memilih pinsil dan pena (“Hapusannya mana?” - “Oh, maaf.”), lalu kita bertiga terpekur dengan halaman kosong masing-masing.
Jovan menggambar Goro dari Mortal Kombat, lengkap dengan guratan otot perutnya dan keempat tangannya. Ica, adiknya yang lebih galak, menggambar kedua temannya: Salsa & Kirana. Lengkap dengan gigi geripis dan kepang sekolah Katolik.
Giliranku memamerkan hasil karya: 3 halaman tulisan, tak bergambar.
“Itu apa?”
“Ini dongeng. Tentang seorang anak laki-laki yang tertarik melihat netbook, lalu mendekati yang punya netbook lalu membantunya berhitung, lalu…kenapa? Nggak bagus?”
Mukanya lucu banget: nyaris robek dengan senyum, mata menyipit, melebar, lalu hilang di balik tangan dan tawanya.
Aku puas. Periku kembali. Dongengku dibeli. Hning boleh masuk kandang. Cerita ini untuk Artha Lintang.