Kyai Cirebon itu hidupnya dari dan untuk mengaji. Orang yang garis hidupnya begitu, umumnya tidak boleh tergoda harta. Atau ajarannya akan jadi basi, dan semua muridnya juga basi.
Makanya Kyai Cirebon itu miskin. Saking miskinnya, kalau mau main ke rumah sahabatnya di Jatibarang, bolak-balik Cirebon-Jatibarang berjalan kaki.
Jatibarang yang di Brebes, lho ya? Jaraknya 70 kilometer!
Suatu kali, Kyai Cirebon gerah, merasa Tuhan memanggilnya Haji. Semua tahu, saat Tuhan Yang Maha Cerewet memanggil, kita hanya bisa menjawab dengan Labbaik.
Maka Kyai Cirebon pergi ke Jatibarang untuk minta didoakan agar rezekinya cukup lancar untuk berangkat haji.
Kyai Jatibarang pun tertawa meledek – antara sahabat, ledek-meledek adalah harta – “Koen ke Jatibarang aja jalan kaki, mau ke Mekkah jalan kaki juga?”
Kyai Cirebon nyengir. Dia yakin dirinya telah dipanggil. Dan dengan cara halal apapun harus menjawab Labbaik. “Pokoknya doakan!”
* * *
Beberapa bulan kemudian, Kyai Jatibarang meledek lagi sahabat yang muncul di rumahnya. “Pakaianmu serba putih. Mau ngaku-ngaku haji?”
“Weits, jangan salah. Aku haji beneran. Mau bilang makasih; berkat doamu, aku jadi berangkat haji.”
Senyum Kyai Jatibarang merekah penuh maklum. “Bagaimana Labbaikmu akhirnya sampai?”
“Niki, suatu hari seorang pegawai BUMN minta diangkat jadi murid ngaji. Terus bayarnya dengan mengajak berangkat haji. Gila ga sih? Cuma dengan modal ngaji aja bisa haji.”
Kedua sahabat itu kembali tertawa. Sepaham akan kuasa dan ironisme Sang Maha Pemanggil.
Mungkin Tuhan hanya perlu dipanggil. JawabanNya bagaimana terserah Dia.