Pak Kyai memiliki ayam jago kesayangan yang ganteng, nyaring & gagah. Setiap pagi dimandikan, diajak biacara dan diberi pakan terbaik untuk menjaga kesehatan dan keindahannya.
Suatu hari, ketika hendak memulai ritualnya bersama ayamnya, ternyata ayam itu tak lagi bertengger di kandangnya. Hilang! Dicuri!
Karena ibadah dan sikapnya selama ini mendidik sang kyai untuk bersabar, maka beliau hanya diam mengikhlaskan.
Di lain tempat, maling yang baru kekenyangan karena makan ayam jago colongan, tiba-tiba merasa gatal seluruh badan. Semakin digaruk kulitnya, semakin gatal. Lama-kelamaan berisisik, bernanah dan mengelupas, seperti bulu ayam yang tak selesai dicabuti.
Maling tersebut menangis. Ia tahu, ini karma dari mencuri ayam dari orang yang hatinya terpaut pada Tuhannya: Keikhlasan dan diamnya membalas sendiri pada yang bersalah padanya.
Makin hari kulitnya yang bersisik makin gatal, buruk dan membusuk tak tertahankan. Maka maling itu ke dokter, tabib, dukun untuk mengobati kesakitannya. Tapi tak ada yang berani membantu, takut terpental kutukan tersebut.
Akhirnya maling ayam menemui gembong maling dan mengadukan nasibnya.
Gembong tersebut menjitak teman seprofesinya, tapi juga mengasihaninya. Ia berjanji akan menemui kyai tersebut untuk mengorek kedalaman ikhlasnya.
"Saya gembong maling, Pak Kyai, mohon bimbing pertaubatan saya."
Pak Kyai melakukan pekerjaannya: memberi wejangan, menatakan intervensi, dan membuka hati selapang simpati.
Pada rehat perbincangan, gembong maling bertanya, "Bapak dulu punya ayam jago bagus, ya? Apa kabarnya sekarang?"
Kemarahan dalam bahasanya menodai ikhlas sang kyai, juga meringankan hukuman kunyuk di sana. Begitu sang Kyai bilang, "Dasar yah, umat tak tahu malu. Ayam orang cuma satu aja kagak selamet!" -- Rontoklah semua gatal, bulu dan nanah di badan maling ayamnya.